Setapak Perjalanan
Langkahku terhenti tepat di trotoar simpang Jalan Frans Kaisepo, yang kini dipenuhi
pedagang kaki lima, aku terkesima dengan keramaian kampung halamanku yang 10 tahun lalu ku tinggalkan masih sangat sepi. Tatapanku terhenti pada baliho raksasa yang robek sana sini dirobek oleh semesta, mungkin karena janji manusia-manusia di dalam baliho yang tak kunjung terlaksana, entahlah.
Kulanjutkan langkah, mataku terus memandangi setiap sudut kampung yang ada, sembari bernostalgia tentang masa kecilku yang kurang lama. “Hei….Bujang, masih ingat
pulang kau rupanya…?” sapa tukang es tebu yang 10 tahun lalu berjualan es teh manis yang tidak manis. Aku hanya menatap, tanpa menjawab, lalu pergi. Menurutku, tak ada gunanya menjawab pertanyaaan yang terkesan menyudutkan seperti itu.
Langkahku kembali terhenti tepat di depan rumah reok yang diapit oleh 2 bangunan
kokoh yang pagarnya pun lebih tinggi dari atap rumahku. Mungkin agar maling lelah memanjat pagar, jatuh lalu mati terkapar, pikirku.
Tepat didepan rumah berlantai tanah dengan jendela kayu terbuka setengah, kulihat wanita cantik sedang menjahit kain sarung yang ku pakai sunat waktu itu.
“Assalamu’alaikum, Bu…” Salamku dengan bahasa isyarat pada wanita yang setengah mati mengeluarkanku dari ruang kokohnya.
“Wa’alaikumussalam…”
Tatapannya tajam dengan binar yang memenuhi matanya. Kami saling tatap tak saling ucap.
Ia berdiri, aku melangkah
Ia melangkah, aku mendekat.
“Kamu le?”
Aku mengangguk, langsung ia memelukku.
Didalam peluk ia berucap, “Matur Suwon, Le”
Entah terimakasih untuk apa. Padahal selama ini aku yang selalu merepotkannya, yang selalu membuatnya rindu, dan aku tak menghiraukan rindunya karena kesibukanku.
“Aku yang harusnya matur suwon, Bu”
Ucapku, dalam hati.
“10 tahun kamu gak pulang, gak kasih kabar ke Ibu, kemana saja kamu, Le?” Kutunjukkan beberapa foto Galeri Lukis milikku dengan keterangan di balik fotonya.
Di foto terakhir kulampirkan sebuah surat yang berisi.
“Bu, maaf, sepeninggal ayah, aku tak tau harus berbuat apa, harus melangkah kemana dan pada akhirnya semesta menyadarkanku, bahwa hidup harus tetap berjalan. Kaki tetap harus melangkah. Karena, impian dan cita telah menunggu di depan sana.
Kuputuskan pergi, bukan untuk meninggalkan Ibu, tapi untuk kembali, dan sekarang aku kembali, untuk Ibu. Terimakasih, Bu”
Ia tersenyum tipis, membawaku masuk ke Istana peninggalan ayahku 10 tahun lalu.
Nb :
*Le : anak tunggal dan pemuda bisu yang merantau 10 tahun tidak pulang ke kampung halamannya
*Wanita cantik : ibunya Le yang hidup sendiri, karena suaminya meninggal sewaktu Le berusia remaja.
Tr : Siti Masyitah Ginting