Aku adalah seorang anak yang lahir dari rahim semesta. Diasuh dan dibesarkan oleh alam sekitarnya. Semasa pertumbuhan aku mendapatkan nutrisi yang cukup dari alam, tempat aku hidup. Namun sekarang, setelah usiaku beranjak 15 tahun alamku sudah berbeda. Asri hijau pepohonan sudah tak dapat lagi kulihat, semuanya telah berubah. Gedung-gedung pencakar langit sebagai pengganti pepohonan yang tinggi. Harum wangi tanah juga tak pernah lagi hidungku hirup, semua daratan telah berwarna hitam beraspal. Pagi kicau burung juga sudah dirampas dari telingaku, bising suara knalpot kendaraan yang kini begitu ramah terhadap gangguan gendang telingaku. Kini, semuanya telah berbeda.
Ingin aku kembali ke masa kecil dulu, dimana aku dapat bermain tanpa terganggu oleh egois kesibukan orang-orang. Di mana saja menjadi tempat untuk senang-senang. Tak ada yang harus dikhawatirkan seperti sekarang ini, keluar rumah tidak harus pakai masker seperti saat ini. Udara benar-benar menjadi oksigen yang mampu diterima paru-paru tanpa rasa khawatir akan penyakit yang kemungkinan akan diderita. Keinginan ku akan hal itu cukup kuat, hingga akhirnya ku diskusikan dengan sahabatuku.
“Bung, menurutmu bagaimana cara mengembalikan lingkungan seperti masa kecil kita dulu?”
“ahh… yang gila-gilanya ko!” katanya pesimis “mana mungkin itu bisa terjadi”.
“Kun fayakun. Jika allah berkehendak dan kita yakin itu bisa terjadi pasti akan terjadi” kuyakinkan Bakar.
“Yaudah, jika kau rasa bisa. Lakukanlah!”
Setelah perbincangan singkat di atas loteng itu, yang sebelumnya aku berharap Bakar sepemikiran denganku dan nyatanya tidak. Terpaksa, keinginanku harus kujalani sendiri tanpa bantuan dari seorangpun. Karena Cuma Bakar satu-satunya sahabat terbaikku yang bisa diajak bekerjasama, namun kali ini dia menolak dengan tegas. Ku ajak berpikir pikiranku dengan habis-habisan agar segera mendapatkan solusi atas apa yang aku inginkan. Lama aku melamun di atas loteng dengan posisi telentang menghadap langit.
Kupandang langit sore yang awannya berputar putar dari atas loteng, kunikmati angin sore yang sepoi-sepoi membelai kulitku. Putih warna awan memberikan kedaiman pada mata, biru warna langit menyehatkan pikiran yang sedang kacau, matahari yang pelan tapi pasti tergelincir menampilkan cahaya berwarna merah jingga mampu menetralisir penatnya diri dari kesibukan kota. Namun sayang, suasana yang memanjakan jiwa ini harus terganggu dengan bising suara klakson kuda besi yang berpacu dengan ketidaksabaran. Karena hal itu, aku kembali teringat akan mimpiku lagi. Dan aku menemukan jawabannya, menjadi pengembara di suatu tempat yang tidak pernah terjamah oleh manusia serakah dan tamak dengan kesibukan yang sebenarnya diperbuat oleh dirinya sendiri. Mungkin di sanalah tempat yang sama seperti 15 tahun lalu yang pernah aku rasakan.
Aku turun ke bawah menuju kamarku, aku sangat bersemangat untuk melakukan perjalanan panjang ini sendiri. Di dalam kamar kupersiapkan segalanya yang menurut aku perlu dalam pengembaraan ini. Ku ambil ransel yang tergantung di dinding kamar, ku masukan ke dalamnya beberapa potong pakaian santai dan beberapa buku serta paling penting tak lupa pula ku buka lebar-lebar ranselku lalu ku shalawatin dalamnya. Ku harap semoga shalawat yang ku bawa itu akan menjadi penyelamat diriku kelak pada saat diperjalanan. Tak sabar diri menunggu besok untuk berangkat.
***
Pagi sekali sehabis salat subuh, dimana hari belum begitu terang aku melangkah keluar rumah sambil menngendong ransel yang di dalamnya terdapat pakaian dan sepenggal shalawat. Bermodalkan niat kutinggalkan rumahku yang sudah terkepung kebisingan yang menyibukkan. Aku berjalan terus lurus ke depan, udara pagi yang bercampur satu dua kendaraan menjadi pengiring langkah kepergian. Ku terobos kabut tipis yang mengganggu penglihatan, yang nyatanya ternyata bukan kabut melainkan asap kendaraan. Aku berjalan terus sampai ada seorang pengendara yang bertanya “mau kemana tujuanmu,dik?Biar saya antar kalau tak punya uang ongkos naik kendaraan umum” tawarnya serius yang dikiranya aku tak punya uang.
“Terimakasih pak, saya memang lagi tidak mau naik angkutan umum dan tujuan saya sudah pasti tidak ada satupun angkutan umum yang ke sana” balasku sambil tersenyum.
“emangnya mau kemana dik?”
“Kesuatu tempat yang belum pernah dijamah kesibukan manusia pak”
“Ahh, apa ada?” terkejut keheranan ia melemparkan tanya
“Ada atau nggaknya cuma tuhan yang tau dimana tempatnya, selama aku meyakini itu pasti ada. Maka tuhan akan menunjukan jalannya” aku berlalu meninggalkannya.
Disepanjang perjalanan banyak orang-orang yang melihatku aneh dan tidak sedikit pula yang berinterkasi samaku menyanyakan mau kemana aku dan apa tujuan dari semua itu. Mendengar jawaban dariku banyak yang mengatakan mustahil bahkan tidak percaya aku akan menemukannya hingga ada yang menertawakannya. Disaat seperti itulah gantian aku yang melihat mereka aneh sebagai manusia. Menanyakan dan ingin tau apa tujuanku tapi setelah mendengar jawabannya mereka pesimis bahkan menertawakan, sungguh contoh orang yang tidak paham bagaimana cara menghargai orang lain.
Hampir seharian penuh aku berjalan, ku lihat ada bekas galian tidak selesai yang terabaikan dan seolah menjadi seperti terowongan tua. Tepat di depan mulut galian ada larangan untuk masuk ke dalamnya. Aku penasaran, aku masuk tak mengindahkan apa yang telah terpampang jelas di depan mataku. Di dalam sangat gelap, ku hidupkan api dari kayu yang berserakan di dalam terowongan ini. Dan waw, ternyata terowongan ini lebar , panjang dan terdapat banyak sekat. Ku susuri pelan-pelan terowongan aneh ini, banyak kutemukan binatang melata berkeliaran dari mulai yang jauh dari kata mengerikan hingga yang mengerikan. Aku menghindari dan membiarkannya hidup, akupun demikian seolah hewan-hewan tersebut mengerti bukan dirinya tujuanku.
***
Tanpa sadar aku telah memakan waktu berhari-hari menyusuri terowongan aneh ini, persedian makanan ku pun sudah habis. Stamina pun demikian, terkuras habis habisan. Tapi aku tak akan menyerah untuk menemukan ujung terowongan gelap lembab yang aneh ini. Sudah kuabaikan mimpiku demi menjawab rasa penasaran. Sekitar seratusan meter ku lihat ada cahaya yang mengintip, karenanya stamina ku seolah pulih kembali. Aku berlari mengejar sumber cahaya, semakin dekat semakin jelas cahaya itu datangnya darimana. Yaitu dari tempat menakjubkan yang belum pernah aku lihat. Di ujung terowongan terdapat hamparan hijau yang sangat luas, seluas mata memandang. Burung-burung berterbangan bebas, suara kicau yang sangat merdu memanjakan telinga. Hewan-hewan berkaki empat yang sedang kejar kejaran, juga terdapat sungai yang mengalirkan air sangat jernih. Aku terpukau akan keindahan yang tersembunyi ini. segera ku ambil buku di dalam tas, lalu aku tulis sepucuk surat yang aku tidak tau setelah itu surat tersebut harus diapakan. Yang terpenting aku menulis saja dulu apa yang ada dihadapanku saat ini
“ Teruntuk siapapun yang membacanya. Salam kenal. Namaku, Rimba. Aku adalah anak pelarian dari ketidak tenangan kota yang mencari kedamain jiwa. Denga bekal asal-asalan, ditemani bayang-bayang keinginan yang kuat aku menyusuri jalan sampai disuatu tempat yang sangat indah nan menawan. Tapi maaf, nama tempatnya belum kutemukan apa yang pantas untuk tempat seindah ini. sesampainya di sini seolah aku terlahir kembali. Bernostalgia ke masa lalu. Kutemukan lagi ketenangan jiwaku yang telah lama hilang. Tak ada bising suara knalpot yang menggangu, yang ada hanya kicau burung yang memanjakan pendengaran. Tak ada kesibukan yang mementingkan kepentingan pribadi yang ada hanya segerombolan hewan yang saling kejar-kejaran. Juga tak kudapati di sini debu yang mengganggu penglihatan dan pernapasan bagi paru-paru yang kulihat hanyalah hijau tumbuhan dan udara segar yang memanjankan saluran pernapasan. Lebih dari nostalgia ku dapati di sini.
Sekali lagi, surat ini ku tulis untuk siapa saja yang beruntung membacanya. Kan kuhantarkan surat ini melalui aliran sungai. Tertutup rapat di dalam botol yang nantinya akan terombang ambing untuk terdampar di entah. Mungkin diantah berantah yang jauh. Namun, jika anda mendapati dan selesai sudah membacanya. Ku mohon jangan dibuang. Bawakanlah pada penguasa yang punya kuasa mengasuh alam semesta. Berikan surat ini dengan tangan gemetar, mata yang berbinar dan suara yang getir. Katakana padanya, bacalah dengan hati pikirkan regenarasi, ciptakanlah bumi yang asri!”.
Tr : Mahdaraf Sanjani