Teropongdaily, Medan-Baru-baru ini, masyarakat dikejutkan dengan dugaan pengoplosan Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Pertamax dengan Pertalite. Kasus ini mencuat setelah sejumlah konsumen mengeluhkan performa kendaraan mereka yang menurun meskipun telah menggunakan Pertamax, BBM dengan Research Octane Number (RON) 92 yang seharusnya memberikan kinerja optimal pada mesin.
Dilansir dari Kompas.com, Pertamax dan Pertalite merupakan dua jenis BBM yang diproduksi oleh Pertamina dengan perbedaan utama pada nilai oktan. Pertalite memiliki RON 90, sementara Pertamax memiliki RON 92. Semakin tinggi nilai oktan, semakin tahan BBM terhadap tekanan sebelum terbakar, sehingga lebih cocok untuk mesin dengan rasio kompresi tinggi. Selain itu, Pertamax diklaim menghasilkan pembakaran yang lebih bersih dan efisiensi bahan bakar yang lebih baik dibandingkan Pertalite.
Dalam kasus ini, negara diperkirakan mengalami kerugian hingga Rp. 968,5 triliun. Awalnya Kejaksaan Agung (Kejagung) menyebut kasus korupsi di PT. Pertamina mengakibatkan kerugian Negara sebesar Rp. 193,7 trilliun pada tahun 2023 akibat praktik blending atau pencampuran Pertalite menjadi Pertamax. Praktik ini dilakukan dengan tujuan memperoleh keuntungan lebih besar secara ilegal. Selain itu, diduga terjadi pembelian Pertalite dengan harga Pertamax, sehingga menimbulkan selisih harga yang tidak wajar.
Praktik pengoplosan ini sangat merugikan konsumen. Mereka yang membayar lebih untuk mendapatkan BBM berkualitas tinggi seperti Pertamax justru menerima produk yang kualitasnya setara dengan Pertalite. Hal ini tidak hanya merugikan secara finansial, tetapi juga berpotensi merusak mesin kendaraan karena penggunaan BBM yang tidak sesuai spesifikasi. Selain itu, pembakaran yang tidak sempurna dapat meningkatkan emisi gas buang, yang berdampak negatif pada lingkungan.
Kejaksaan Agung telah menetapkan beberapa tersangka dalam kasus ini, termasuk Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, Riva Siahaan. Pemerintah diharapkan dapat memperketat pengawasan terhadap distribusi dan penjualan BBM untuk mencegah terulangnya praktik curang semacam ini di masa mendatang. Selain itu, konsumen diimbau untuk lebih waspada dan melaporkan jika menemukan indikasi kecurangan dalam penjualan BBM.
Kasus dugaan pengoplosan Pertamax dengan Pertalite ini menjadi peringatan bagi semua pihak akan pentingnya integritas dalam distribusi energi. Konsumen berhak mendapatkan produk sesuai dengan yang dijanjikan, sementara produsen dan distributor memiliki kewajiban untuk menjaga kepercayaan tersebut. Kerja sama antara pemerintah, perusahaan, dan masyarakat sangat diperlukan untuk memastikan kejadian serupa tidak terulang di masa depan.
Tr : Dina Yolanda