Teropongonline, Medan – Indonesia negara majemuk yang memiliki etnis lebih dari 1.340 suku (menurut sensus BPS) dan lebih dari 300 suku kelompok etnik yang tersebar luas di bumi Nusantara dari Sabang sampai Marauke. Dari beragam suku yang ada, sudah seharusnya seluruh bangsa Indonesia bangga akan kekayaan keberagaman ini. Selain bangga, kita juga sepatutnya untuk menjaga keharmonisan keberagaman dengan keterikatan “Walau Berbeda Namun Tetap Satu Jua” sebagai mana arti dari Semboyan Negara Indonesia, yaitu Bhinneka Tunggal Ika.
Tapi sayangnya semboyan yang tertulis jelas di cengkraman kaki burung Garuda Pancasila yang tak lain dan tak bukan sebagai lambang Negara Indonesia itu sepertinya hanya dianggap ‘pajangan’ tulisan tanpa arti semata. Itu terbukti dengan maraknya terjadi kasus ujaran kebencian, paham radikal yang bertentangan dengan Ideologi Indonesia dan Rasisme. Seperti apa yang terjadi baru-baru ini di Surabaya terhadap belasan Mahasiswa Papua.
Insiden yang mencederai moral Indonesia ini terjadi pada hari Jum’at (16/08) di Asrama Mahasiswa Papua di Surabaya. Diduga kuat, dari kutipan beberapa media online mainstream bahwasnya awal perkara dikarenakan terdapat Bendera Merah Putih masuk ke dalam selokan dikarenkan tiang bendera patah. Orang-orang yang berada di dalam Asrama bukannya tidak mau membenarkan tapi dari pengakuan bahwa mereka tidak tau. Kendatipun begitu, api kemarahan sudah tersulut. Orang-orang di depan asrama mahasiswa Papua semakin banyak, ada warga sipil, beberapa Ormas, hingga para Polisi dan TNI yang mejaga seputaran Asrama tersebut.
Ujaran-ujaran rasis penuh kebencian mulai terlontar dari mulut massa dikarenakan geram dengan para mahasiswa sebab tak kunjung juga keluar dari dalam asrama. Hingga malam (16/08) tiba mahasiswa tak kunjung jua keluar asrama, suasana di luar mencekam. Mahasiswa menahan lapar sepanjang malam sembari ketakutan. Terdapat anjing polisi penjaga dan juga tim Respati, pasukan khusus Polrestabes Surabaya disiagakan demi mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan terjadi oleh massa yang menunggu para mahasiswa keluar dari dalam asrama.
Beruntung keesokan harinya (17/08) mahasiswa Papua lain datang ke asrama membawa makanan. Sayang merekapun bernasib sama, tak bisa keluar. Mahasiswa yang berada di dalam asrama yang tadinya hanya belasan orang bertambah menjadi puluhan, lebih dari 40 mahasiswa terjebak di dalam asrama. Akhirnya aparat yang berada di lokasi tak tahan dengan teguh pendirian mahasiswa yang tetap berada di dalam asrama. Sore (17/08) gas air mata dilepaskan oleh polisi dan pintu asrama didobrak, seluruh mahasiswa di giring ke Polrestabes Surabaya dengan tujuan akan diperiksa lebih lanjut. Tak bertahan lama, tidak terbukti bersalah seluruh mahasiswa kembali di pulangkan ke asrama pada hari itu juga.
Perlakuan tidak pantas yang diterima oleh mahasiswa Papua tercium ke seluruh pelosok Negeri Indonesia tak terkecuali hingga ke Papua. Imbasnya, Senin (19/08) pagi kerusuhan pecah di Manokwari, Papua Barat. Terjadi aksi di Manokwari, Jalan diblokade selain itu gedung DPRD Papua Barat juga dibakar oleh massa aksi. Aksi-aksi serupa juga menyusul di bagian Daerah lainnya tak terkecuali di Medan. Dengan tuntutan yang sama, usia kemerdekaan ke-74 sudahi diskriminasi dan rasis di Indonesia.
Rasisme
Rasisme bukan barang baru di Indonesia. Sebelumnya juga pernah terjadi kasus serupa, dan ini terulang lagi seolah seperti sudah mengakar di bumi Indonesia. Kasus-kasus perihal rasisme juga terkesan dibiarkan begitu saja, bergulir bagai bola salju. Sudah seharusnya, hal yang dapat memecah belah bangsa seperti ini harus mendapat perhatian lebih dari pemerintah. Rasisme bersifat destruktif yang mampu melemahkan orang atau sekelompok orang, etnis juga komunitas tertentu dengan menurunkan nilai maupun identitas, menciptakan kesenjangan antara yang satu dengan satu lainnya.
Dibelahan bumi lainnya, rasisme menjadi permasalahan cukup serius terbukti dengan maraknya mengkampanyekan mengecam keras pelaku rasisme. Misal, Jerman contohnya Negara yang memiliki julukan Negeri Nazi ini menghukum berat pelaku rasisme dengan denda lebih dari 800 miliar. sedangkan Indonesia? sepertinya Undang-Undang No 29 Tahun 1999 belum cukup ‘sakti’ menjadi tamengperlakuan tindak rasisme yang ada di Negeri yang berpenduduk lebih dari 260 juta jiwa ini.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) semestinya juga ikut memandang serius bagaimana cara agar tindak rasisme tidak akan pernah terjadi lagi di Indonesia atau paling tidak mampu menurun drastis dari sebelumnya. Dengan legalitas yang ia punya, Komnas HAM mampu berperan aktif untuk menjaga hak-hak setiap manusia yang telah melekat sejak lahir. Agar nantinya tidak akan pernah terjadi konflik horizontal sesama warga Indonesia.
Merawat Keberagaman
Bangsa Indonesia adalah bangsa plural, yang memiliki suku lebih dari satu. Yang setiap sukunya memiliki keunikan, ciri khas dan kebanggaan tersendiri dari apa yang ditampilkan untuk Indonesia. Namun terkadang tidak semua warga yang baik paham akan hal itu, dikarenakan ketidakpahaman maka terjadilah ketidaksengajaan yang tidak diinginkan, mencederai keberagaman yang membanggakan ini. Maka kedepannya berperan aktiflah pemerintah untuk menggaungkan ulang keberagaman dengan sosialisasi sederhana, mulai dari pasang iklan di tv misalnya hingga sosialisasi ke daerah-daerah terpencil.
Selain itu, merawat bangsa yang plural agar menjadi bangsa yang toleran damai dan saling menghargai dapat juga dengan cara menumbuhkan kesadaran yang paling dasar yaitu mengakui keberagaman sebagai tercipta indahnya kerukunan, karena kesadaran sederhana seperti ini yang sekarang perlahan tapi pasti semakin terkikis. Selain itu, jaminan hak setiap manusia yang diterima dari pemerintah harus sama, tidak ada wilayah ataupun suku tertentu mendapat perlakuan istimewa, juga ciptakanlah integrasi soisal yang berbasis kebudayaan dan junjung tinggi Bhineka Tunggal Ika.
“Marilah kita bangun bangsa dan kita hindarkan pertikaian yang sering terjadi dalam sejarah. Inilah esensi tugas kesejarahan kita, yang tidak boleh kita lupakan sama sekali” -K.H Abdurrahman Wahid (GusDur), Presiden Indonesia ke-4.
Tr : Mahdaraf Sanjani