Teropongdaily, Medan-Krisis kemanusiaan di Palestina, khususnya di Gaza, telah mencapai titik nadir. Kelaparan merajalela, infrastruktur hancur, dan akses terhadap air bersih serta layanan kesehatan nyaris lumpuh total. Namun, di tengah penderitaan ini, ironi terbesar muncul bantuan internasional yang seharusnya menjadi penyelamat justru tertahan oleh sejumlah negara dan otoritas dengan alasan politis maupun keamanan.
Dilansir dari Kompas.id, Inisiatif Klasifikasi Fase Keamanan Pangan Terpadu (IPC) menuding Israel sebagai pihak yang menyebabkan bencana kelaparan karena menghambat masuknya bantuan kemanusiaan ke Gaza. IPC, yang berbasis di Roma, merupakan koalisi pemantau independen di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang bertugas memperingatkan potensi krisis pangan global.
Penolakan bantuan kerap dibungkus dengan alasan kekhawatiran bahwa logistik akan disalahgunakan kelompok bersenjata seperti Hamas. Padahal, mayoritas penerima manfaat adalah warga sipil tak bersenjata, anak-anak, perempuan, dan lansia. Mereka yang justru seharusnya menjadi prioritas perlindungan dalam hukum internasional. Menghalangi bantuan atas dasar politik sama saja dengan memperpanjang penderitaan melalui kekerasan terselubung.
PBB dan berbagai organisasi kemanusiaan telah menyuarakan keprihatinan. Laporan terbaru World Food Programme menyebut lebih dari 90% warga Gaza tidak memiliki cukup makanan, sementara sebagian besar anak-anak mengalami kekurangan gizi akut. Fakta ini seharusnya menjadi alarm darurat global. Namun dunia justru tampak gamang, saling menyalahkan, dan ragu mengambil langkah nyata.
Ironisnya, beberapa negara yang selama ini lantang menyuarakan Hak Asasi Manusia (HAM) justru ikut menahan bantuan, tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang bagi rakyat Palestina. Solidaritas yang seharusnya universal kini tampak selektif, bergantung pada kepentingan politik dan tekanan aliansi. Krisis Palestina menjadi bukti bahwa nilai kemanusiaan kerap kalah di hadapan kepentingan geopolitik.
Di sisi lain, terdapat pula penolakan terhadap bantuan dari pihak-pihak yang dianggap memiliki ‘agenda politik’. Beberapa kelompok pengelola di Gaza khawatir bantuan menjadi alat pengaruh ideologis atau kontrol sumber daya. Meski ada dasar kekhawatiran tersebut, rakyat sipil tidak seharusnya menjadi korban tarik-ulur kepentingan.
Dalam kondisi darurat, kemanusiaan harus ditempatkan di atas segalanya. Negara-negara dengan kekuatan diplomasi perlu segera memfasilitasi koridor kemanusiaan yang aman dan netral. Penyaluran bantuan seharusnya diawasi lembaga independen, bukan dihentikan sama sekali. Dunia membutuhkan keberanian moral, bukan ketakutan politik.
Krisis di Palestina bukan sekadar konflik dua pihak, melainkan cerminan kegagalan sistem global merespons bencana kemanusiaan. Ketika anak-anak mati kelaparan, rumah sakit lumpuh, dan roti menjadi barang mewah, saat itulah dunia harus bertanya: di mana letak nilai kemanusiaan? Apakah kita benar-benar peduli, atau hanya berpura-pura?
Sudah terlalu lama rakyat Palestina hidup dalam bayang-bayang blokade, kekerasan, dan pengabaian. Krisis kelaparan hanyalah puncak gunung es dari penderitaan panjang yang mereka alami selama puluhan tahun. Dunia tidak boleh lagi berdiam diri. Penolakan bantuan kemanusiaan adalah bentuk kekejaman terselubung yang harus segera dihentikan.
Kini, lebih dari sebelumnya, dunia harus bersatu menyuarakan satu hal: setiap manusia tanpa memandang agama, etnis, maupun afiliasi politik berhak hidup layak, aman, dan bermartabat. Menolak bantuan kemanusiaan bagi rakyat Palestina bukan hanya tidak manusiawi, tetapi juga mencerminkan kegagalan kolektif kita sebagai umat manusia.
Tr: Anggi Nayla
Sumber Foto : reuters.com