Media sosial ibarat dua mata pisau. Di satu sisi, memberi ruang berekspresi dan berkomunikasi tanpa batas. Tapi di sisi lain, bisa jadi bumerang kalau digunakan tanpa tanggung jawab.
Sayangnya, masih banyak yang menganggap media sosial sebagai ruang bebas tanpa batas hukum. Padahal, setiap unggahan, komentar, bahkan story yang kita bagikan bisa berkonsekuensi hukum jika melanggar norma dan aturan yang berlaku.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), yang diperbarui lewat UU Nomor 19 Tahun 2016, secara tegas mengatur batas perilaku di dunia digital. Pasal 27 ayat (3) melarang penyebaran konten yang mengandung penghinaan atau pencemaran nama baik. Pelanggarnya bisa dikenai pidana penjara paling lama 4 tahun atau denda hingga Rp750 juta.
Selain itu, Pasal 28 ayat (2) UU ITE juga melarang penyebaran informasi yang menimbulkan kebencian atau permusuhan berdasarkan SARA. Ini pengingat bahwa setiap kata yang kita ketik bisa jadi alat pemecah, kalau tak disertai tanggung jawab dan empati.
Bijak bermedia sosial bukan cuma soal etika, tapi juga soal taat hukum. Kebebasan berbicara bukan berarti bebas mencaci, memfitnah, atau menyebar hoaks. Dunia digital bukan zona bebas hukum, melainkan perpanjangan dari dunia nyata di mana kita tetap punya hak dan kewajiban sebagai warga negara.
Sudah saatnya kita melek hukum dan sadar digital. Jangan tunggu viral baru sadar. Jangan sampai jempol jadi pintu ke jeruji. Bijak bermedia sosial bukan pilihan, tapi keharusan.
Tr : Intan Permadani