Teropongonline, Medan-“Bila rakyat berani mengeluh
Itu artinya sudah gawat
Dan bila omongan penguasa
Tidak boleh dibantah Kebenaran pasti terancam,”
Beginilah sebagian bunyi dari puisi ciptaan Widji Thukul yang berjudul “Peringatan” pada tahun 1986. Bukan sekedar omong kosong,apa yang dituliskan Widji Thukul dalam puisinya tersebut tampaknya memang benar adanya saat ini. Bisa bersama kita lihat dari problematika mengenai pengesahan Rencana Undang – Undang (RUU) Cipta Kerja menjadi Undang-Undang oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) pada 5 Oktober 2020 lalu. Dimana setelah itu berbagai elemen rakyat menunjukan rasa kekecewaan mereka terhadap pengesahan Undang – Undang tersebut.
Sebagaimana kita ketahui, Indonesia merupakan negara yang memakai sistem pemerintahan demokrasi dalam menjalankan pemerintahannya. Salah satu nilai yang terkandung dalam sistem pemerintahan demokrasi yakni semua warga negaranya memiliki hak yang sama dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah kehidupan rakyat dan negara. Hal ini tentu saja membenarkan istilah “Dari Rakyat, Untuk Rakyat, Oleh Rakyat” yang sering sekali digaungkan di negara-negara penganut sistem pemerintahan demokrasi. Bersamaan dengan itu, pertanyaan yang juga sering dipertanyakan adalah “Apakah kita sudah benar-benar menjalani sistem demokrasi dengan baik?,”
Pertanyaan tersebut dan sejenisnya mungkin sulit untuk dijawab oleh orang manapun, akan tetapi keadaan saat ini mungkin dapat menunjukkan jawaban atas pertanyaan tersebut. Sebagai contoh, tindakan yang dilakukan oleh Ketua DPR-RI, Puan Maharani yang mematikan mikrofon dari Irwan Fecho, yakni legislator dari Partai Demokrat pada saat menyampaikan aspirasi di rapat paripurna pada tahun Oktober 2020 lalu.
Sebagaimana kita ketahui bersama, Kejadian Ketua DPR-RI mematikan mikrofon itu terjadi saat rapat paripurna DPR pengesahan Rancangan Undang-undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja menjadi undang-undang, Senin 5 Oktober 2020. Awalnya, Anggota DPR RI dari Fraksi Partai Demokrat Irwan Fecho menyampaikan pendapatnya mengenai RUU Omnibus Law Cipta Kerja. Kemudian, Wakil Ketua DPR RI dari Fraksi Partai Golkar yang saat itu sebagai pimpinan sidang Aziz Syamsuddin terlihat berdiskusi sebentar dengan Puan Maharani yang duduk di sebelahnya lalu seketika suara mikrofon dari Irwan Fecho mendadak mati. Alhasil, video kejadian tersebut tersebar luas di media sosial.
Penulis berpendapat hal ini merusak nilai-nilai demokrasi, menurut saya apabila DPR-RI benar-benar sebagai wakil rakyat yang aspiratif, maka DPR-RI harus meyakini bahwasanya setiap legislator yang berada di rapat paripurna tersebut memiliki pandangan yang berbeda-beda yang harus diterima oleh DPR-RI.
Suara lain yang juga tidak didengar adalah ketika pernyataan Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo), Johnny Gerard Plate pada saat di acara Mata Najwa. Dalam talk show tersebut, Johnny terlibat adu argumen dengan narasumber lainnya yakni Koordinator Pusat Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) Remy Hastian. Dalam diskusi tersebut , Jhonny menegaskan, pemerintah dengan akuntabilitas tinggi menyampaikan informasi kepada masyarakat mana yang hoaks dan mana tidak.
“Memang itu hoaks. Kalau pemerintah sudah bilang hoaks, ya dia hoaks. Kenapa membantah lagi?” ujar Johnny.
Kejadian seperti ini menurut saya kembali dapat mengurangi nilai nilai demokrasi berpendapat, dengan seolah olah memaksa rakyat untuk terus menerima dan mensetujui apa yang telah dibuat oleh pemerintah. Seharusnya pihak pihak yang berada didalam ruang lingkup pemerintahan bisa juga menerima apa yang diaspirasi oleh rakyatnya tanpa harus mengeluarkan kalimat bernuansa keotoriteran dan bersifat memaksa rakyat untuk mempercayai penuh apa yang disampaikan oleh pemerintah.
Lalu, Kegiatan yang sedang hangat-hangatnya pada Oktober 2020 lalu, yakni pelaksanaan aksi oleh berbagai elemen rakyat yang hampir diseluruh penjuru nusantara, yakni aksi penolakan UU Omnibuslaw Cipta Kerja yang dianggap merugikan dan menyengsarakan rakyat.
Meski didemo “habis-habisan” oleh rakyat, Pemerintah memastikan tidak ada opsi menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk membatalkan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja. Hal tersebut dikatakan Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden Donny Gahral Adian. Meski tak ada opsi Perppu, Donny mempersilakan pihak-pihak yang menolak UU Cipta Kerja untuk mengajukan uji materil atau judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK).
“Tidak ada pilihan Perppu. Pemerintah menghargai masukan dari serikat buruh. Menghargai bahwa demo-demo yang dilangsungkan beberapa hari ini berjalan dengan damai, dan berdasarkan protokol kesehatan,” kata Donny saat dihubungi, Kamis (8/10/2020), dikutip dari Kompas.com.
Dengan beberapa persoalan diatas mungkin sedikit menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai sistem demokrasi yang dipakai oleh negeri yang kita cintai ini. Penulis mengajak kepada kita semua agar selalu menyampaikan sebuah kebenaran walau terkadang pahit yang diterima atau bahkan hasil yang diterima tidak sesuai dengan ekspektasi yang diharapkan.
Tr : Mhd. Iqbal
Sumber ilustrasi : buletin wene