“Udah gak usah! Gak penting banget,” sebelah kiri berseru.
“Apanya yang tidak penting, itu penting banget kalau gak dilakukan kau mau jadi apa?” sebelah kanan berteriak lembut.
“Shit … Bisa diam gak?” Aku berteriak di keheningan. Cat putih di dinding-dinding ini, menyaksikan pertengkaran kami.
Aku menghela napas, mereka selalu saja bergaduh. Bukannya membantuku memutuskan suatu hal, malah membuatku semakin bingung.
“Aku tetap melakukannya, sepertinya sebentar tidak butuh waktu lama,” kalimatku terdengar seperti memihak pada sebelah kanan.
“Bodoh! Mau-maunya ditipu daya sama bungkus marketing,” sebelah kiri berseru lebih tepatnya mengumpat. Tidak terima atas keputusanku.
Mencoba tidak mendengar dan menghiraukan sebelah kanan. Tidak bisa, beberapa menit kemudian, aku kepikiran. Benar juga umpatannya. Bagaimana kalau aku akan ditipu? Toh, aku pun tidak tau jelas arahnya ke mana. Bisa saja kan, setelah kulakukan. Hasil milikku, mereka perjual belikan dengan seenaknya. Aku tidak akan bisa menuntut jika itu terjadi.
“Jangan dengarkan! Lakukan aja. Toh, kalau niatnya baik akan berujung baik. Bukan kau percaya itu,” sebalah kanan mematahkan kemungkinan-kemungkinan yang berkecamuk.
“Tapi,” sebelah kiri mulai bersuara lagi.
Aku mengepal tangan mulai kesal. Argh, tak selesai-selesai jika harus berdebat seperti ini. Akhirnya harus kuakhiri, gak boleh goyah lagi. Lakukan atau tidak? Hanya itu saja pilihannya.
“Oke, aku tetap lakukan. Persetan dengan tipu-tipu nantinya. Toh, aku bisa membuat yang lebih lagi. Sudah cukup jangan berkomentar lagi!” gumamku.
Aku mulai membuka laptop di depan yang menunggu sedari tadi. Menjelajahi software yang biasa menjadi teman di hari-hariku. Aku mengetik sebuah frasa untuk mengawali cerita. Merangkai diksi sedikit demi sedikit menjadi sebuah karya fiksi.
Setengah jam lagi, sebuah pesan di grup WhatsApp.
Seharunya, sedari tadi aku sudah siap menuliskan cerita ini. Jika sebelah kanan dan kiri tak iku berkomentar. Sialnya, kemanapun dan apapun yang kulakukan, mereka selalu ada. Melontarkan hal-hal yang kadang tak kumengerti.
Lima belas menit lagi, waktu pengumpulan karya fiksi. Jika lewat dari waktu akan didiskualifikasi. Pesan dari grup WhatsApp. Aku menghela napas. Sebentar lagi selesai.
Kupaska pikiran untuk bersahabat dalam merangkai kata. Selesai, gumamku beberapa menit kemudian. Sisa satu menit untuk mempertahankan eksistensi di dalam grup WhatsApp. Lagi-lagi, komentar berdatangan.
“Yakin?” Satu kata menyesatkan keluar dari sebelah kiri.
“Yakin gak ya?” Aku terhanyut.
“Udah yakin aja. Langsung kirim!” sebelah kanan menyahut.
“Jelek gitu? Malu-maluin diri sendiri,” tambah sebelah kiri.
“Iya sih jelek!” Gumamku percaya diri mulai menurun.
“Ayo segera kirim!” Sebelah kanan memberi semangat.
Aku menghela napas, “Masa bodolah jelek atau tidak. Harus aku kirimkan, kalau tidak? Aku akan didiskualifikasi,” jemari mengarahkan kursor pada tombol kirim yang terdapat di email.
“Hey! Dengarkan sebelah kiri!” Sebelah kiri marah.
“Stop! Sebelah kiri … sebelah kanan … Kalian menyebalkan. Biar aku saja, jangan berkomentar lagi. Aku punya keptusan sendiri!” Aku menutup telinga.
Dinding-dinding kamar tertawa. Mungkin kalau bisa berbicara mereka akan berkata, “Manusia konyol,”
Tr : Venny Eriska