Teropongdaily, Medan-Kebijakan pemerintah yang melarang pengecer menjual gas elpiji 3 kg dan mewajibkan masyarakat membelinya langsung di pangkalan resmi menimbulkan berbagai pertanyaan. Alasan utama aturan ini adalah agar distribusi lebih tepat sasaran dan subsidi dinikmati oleh masyarakat yang berhak. Namun, di lapangan justru muncul dugaan bahwa ada pihak tertentu yang diuntungkan dari kebijakan ini.
Selama ini, banyak laporan tentang permainan harga dan distribusi gas elpiji 3 kg. Beberapa oknum di tingkat pangkalan atau agen diduga mengambil keuntungan besar dengan menahan stok atau menaikkan harga secara tidak resmi. Dengan adanya kebijakan ini, masyarakat tidak lagi memiliki alternatif untuk membeli dari pengecer, sehingga posisi tawar mereka semakin lemah. Jika harga di pangkalan naik atau stok terbatas, masyarakat tidak punya pilihan selain menerima kondisi tersebut.
Selain itu, dengan pengecer dihilangkan dari rantai distribusi, keuntungan besar justru mengalir ke pihak yang lebih tinggi dalam sistem distribusi gas. Padahal, pengecer kecil selama ini menjadi solusi bagi masyarakat yang kesulitan menjangkau pangkalan. Jika benar kebijakan ini dibuat untuk memastikan subsidi tepat sasaran, mengapa tidak ada sistem pengawasan ketat terhadap distribusi di tingkat agen dan pangkalan?
Alih-alih hanya melarang pengecer, pemerintah seharusnya fokus pada transparansi distribusi. Penerapan sistem digital, seperti kartu kendali atau pencatatan elektronik di setiap pangkalan, bisa menjadi solusi agar gas bersubsidi benar-benar sampai ke masyarakat yang membutuhkan tanpa membuka celah bagi permainan harga oleh pihak tertentu. Jika pengawasan tidak diperketat, kebijakan ini justru bisa menjadi alat bagi segelintir orang untuk meraup keuntungan, sementara masyarakat kecil kembali menjadi korban.
Pemerintah terkesan selalu terburu-buru dalam merumuskan kebijakan tertentu. Dalam hal ini, gas elpiji 3 kg. Alhasil, kebijakan yang harusnya pro rakyat justru menyiksa rakyat. Kebijakan yang diambil terburu-buru, laiknya gelar doktor Pak Menteri yang juga terburu-buru, hanya menambah penderitaan rakyat. Antrian panjang tak terelakkan dan jauh hari gelar doktor sang Menteri juga dicabut dan dikaji kembali.
Di akhir, pemerintah selalu ingin tampil sebagai pahlawan. Padahal semua orang tahu, semua kekacauan yang terjadi adalah ulah mereka. Mereka yang berbuat, mereka pula yang ingin mendapatkan kredit. Jadi orang baik di akhir cerita.
Tr: Dina Yolanda
Editor Opini: Rizali