Teropongdaily, Medan-Kasus influenza tipe A kembali merebak di Indonesia, terutama di wilayah Jakarta dan kota besar lainnya. Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mencatat lebih dari satu juta kasus Influenza Like Illness (ILI) sepanjang 2025. Subtipe H3N2 kini mendominasi di Asia Tenggara, membuat penyebaran virus semakin cepat dan menimbulkan gejala berat.
Meski pemerintah sudah mengimbau masyarakat untuk kembali memakai masker dan menjaga daya tahan tubuh, sebagian orang tampak abai. Banyak yang menganggap influenza hanya “flu musiman”, padahal virus yang beredar kali ini jauh lebih berbahaya dan bisa menimbulkan komplikasi serius, terutama bagi anak-anak, lansia, serta mereka yang memiliki daya tahan tubuh lemah.
Fenomena ini memperlihatkan bahwa kesadaran kesehatan masyarakat menurun setelah pandemi COVID-19 mereda. Saat situasi tidak lagi darurat, kepedulian terhadap kebersihan dan pencegahan ikut mengendur. Padahal, data Kemenkes menunjukkan lebih dari 30 persen pasien influenza yang dirawat di rumah sakit mengalami komplikasi pernapasan bukti bahwa banyak yang terlambat bertindak.
Situasi ini juga menjadi cermin bagi pemerintah untuk menilai kesiapan sistem kesehatan nasional. Edukasi publik tidak cukup hanya dengan imbauan formal atau kampanye sesaat. Diperlukan pendekatan komunikasi yang menekankan perubahan perilaku (behavioral communication). Berdasarkan data Kemenkes, wilayah dengan kampanye aktif semacam ini memiliki tingkat kepatuhan 22 persen lebih tinggi dibanding wilayah tanpa sosialisasi langsung.
Selain itu, faktor lingkungan turut memperburuk penyebaran penyakit. Kualitas udara Jakarta pada pertengahan 2025 termasuk yang terburuk di dunia, dengan indeks AQI mencapai 146 dan kadar PM2.5 sekitar 80 µg/m³ jauh melampaui batas aman WHO. Polusi udara memperlemah sistem pernapasan, membuat masyarakat semakin rentan terhadap infeksi influenza dan penyakit saluran napas lainnya.
Sayangnya, pendekatan kesehatan publik di Indonesia masih cenderung reaktif. Pemerintah sering kali bertindak setelah kasus melonjak, bukan mencegah sebelum wabah meluas. Padahal, strategi pencegahan berbasis data dan edukasi berkelanjutan jauh lebih efektif untuk menekan angka penularan.
Kasus influenza kali ini bukan hanya menguji daya tahan tubuh, tetapi juga menguji daya ingat kolektif kita sebagai bangsa. Apakah kita benar-benar belajar dari pandemi COVID-19, atau sekadar menunggu wabah berikutnya untuk kembali waspada? Kesadaran menjaga kesehatan semestinya menjadi budaya, bukan reaksi sesaat terhadap krisis.
Menjaga kesehatan publik adalah tanggung jawab bersama. Pemerintah perlu memperkuat kebijakan berbasis edukasi dan lingkungan sehat, sementara masyarakat harus membangun kebiasaan hidup bersih dan tangguh. Jangan tunggu krisis baru untuk belajar peduli, karena virus tak pernah menunggu waktu untuk menyerang.
Tr: Lilya Fitri





















