Teropongonline, Medan-Webinar Nasional yang diselenggarakan mahasiswa Program Studi Sosiologi Universitas Brawijaya via Zoom, bertajuk “Perlukah Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) di Kota Surabaya”. Tema yang diangkat bukan tanpa dasar, melainkan agar rakyat Indonesia khususnya warga Surabaya dapat mengawal apabila PLTSa Benowo akan beroperasi. Sabtu (17/10/2020).
Dalam kegiatan Webinar, beberapa elemen masyarakat turut hadir dan memberikan pandangannya. Seperti, Nindita Proboretno National Co-Coirdinator Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI), Hermawan Some Founder of Komunitas Nol Sampah Surabaya, dan Sarifah Hidayah Programme Manajer of WALHI Jawa Timur.
Pembangunan PLTSa itu bukan hanya berada di Kota Surabaya saja, melainkan ada di 11 daerah lainnya yaitu DKI Jakarta, Kota Tangerang, Kota Tangerang Selatan, Kota Bandung, Kota Bekasi, Kota Semarang, Kota Surakarta, Kota Makassar, Kota Denpasar, Kota Palembang, dan Kota Manado. Mega proyek itu tertuang dalam Perpres No.35 Tahun 2018 yang menjadikan PLTSa sebagai Proyek Strategis Nasional.
Dari 12 proyek PLTSa yang dibangun, saat ini hanya PLTSa Benowo saja yang telah rampung fisiknya dan dapat beroperasi jika tahap pengujian oleh ahlinya terselesaikan, Namun tertunda karena Covid-19 melanda Indonesia.
Menanggapi hal PLTSa, Menurut Nindhita Proboretno Co-Coordinator Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI). PLTSa ini tidak hanya akan merugikan keuangan negara melainkan menimbulkan sebuah permasalahan kesehatan yang baru.
“Pendapatan insinerator berasal dari layanan pembuangan sampah (tipping fee) lebih dari tiga kali lipat pendapatan dari penjualan listrik yang dihasilkan PLTSa, dan dari 4 ton sampah yang dibakar insinerator akan menghasilkan 1 ton abu beracun atau lebih yang terkandung pada 90% Bottom Ash dan 10% Fly Ash,” ungkap Nindhita.
Mengenai kerugian keuangan negara, Komisi Pemberantas Korupsi (KPK RI) melalui youtube channel resminya, menjelaskan juga PLTSa nantinya akan dibebankan kepada beberapa instansi besar milik negara.
“Kerugian tersebut karena model bisnis yang tidak fair antara pengelola PLTSa dengan pemerintah melalui Pemerintah Daerah (Pemda) dan PLN,” tutur KPK.
Selain itu, KPK RI juga mengatakan biaya taksiran yang dikeluarkan dengan yang didapatkan tidak menguntungkan negara melainkan akan menguntungkan pihak PLTSa saja.
“Dengan menganut sistem take or pay yakni meskipun pasokan sampah yang disetorkan ke PLTSa tidak sebanyak perjanjian awal, misalkan perjanjiannya 1000 ton/hari, dan bila tidak sampai berat yang telah disepakati maka biayanya tetap setara 1000 ton/hari,” Jelas KPK.
Berkaca pada hal uji coba, saat melansir Tribun Jakarta di Tahun 2019. PLTSa Sumur Batu yang dikembangkan PT Wijaya Abadi di Kota Bekasi gagal beroperasi, dengan biaya yang tidak sedikit namun hasilnya kurang memuaskan.
Tr: Muhammad Ryzki Alhaj
Sumber foto : suara surabaya