Teropongdaily, Medan-Di era digital dan serba instan, perilaku konsumtif telah menjadi kebiasaan, terutama di kalangan mahasiswa. Konsumsi mereka kini tidak hanya terbatas pada kebutuhan pokok seperti makan dan pendidikan, tetapi juga merambah gaya hidup: nongkrong di kafe, mengikuti tren fashion, dan belanja online.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat peningkatan pengeluaran konsumsi rumah tangga dari Rp1,28 juta (September 2021) menjadi Rp1,33 juta (Maret 2022). Angka ini menunjukkan meningkatnya pola konsumsi, termasuk di kalangan mahasiswa. Kemudahan akses terhadap barang dan jasa melalui platform digital menjadi salah satu pemicunya.
Pertumbuhan e-commerce juga menjadi faktor utama dalam perubahan pola konsumsi ini. Pada tahun 2023, tercatat 58,63 juta pengguna e-commerce di Indonesia, dan jumlah ini diperkirakan akan mencapai 99,1 juta pada tahun 2029. Mahasiswa yang akrab dengan dunia digital kerap tergoda oleh diskon besar-besaran, layanan paylater, serta tren belanja impulsif.
Namun, apakah perilaku konsumtif selalu bersifat negatif? Tidak selalu. Selama masih dalam batas wajar dan sesuai dengan kemampuan finansial, konsumsi dapat menjadi bentuk apresiasi diri atau pengaktualisasian diri. Masalah muncul ketika konsumsi didorong oleh tekanan sosial atau sekadar keinginan untuk terlihat keren di media sosial.
Inilah yang mengarah pada hedonisme, yaitu pola hidup yang menjadikan kesenangan sebagai tujuan utama. Mahasiswa yang terjebak dalam pola ini cenderung mengabaikan masa depan finansial mereka. Mereka lebih memilih terlihat menarik di media sosial daripada menabung atau berinvestasi.
Sebagai generasi intelektual, mahasiswa harus mampu membedakan antara konsumsi yang wajar dan konsumsi yang berlebihan. Manajemen keuangan, penetapan skala prioritas, serta penghindaran gaya hidup berlebihan adalah langkah penting agar tidak terperangkap dalam perilaku hedonisme yang merugikan di masa depan.
Tr: Nashwa Sabillah
Sumber: Shutterstock.com






















