Teropongonline, Medan-Terjaringnya Walikota Medan, Tengku Dzulmi Eldin dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Rabu (16/10/2019) dinihari menambah deretan panjang Walikota Medan yang terlibat kasus tindak pidana korupsi.
Pengamat politik Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU), Shohibul Anshor Siregar mengaku terkejut dengan kabar terjaringnya Dzulmi Eldin dalam operasi senyap KPK di Kota Medan.
” Kaget, karena cukup paradoks. Baru saja hadir dan memberi sambutan dalam acara syukuran Lili Pintauli Siregar karena terpilih sebagai komisioner KPK. Memang tak ada kaitan antar kedua peristiwa. Tapi juga mencengangkan juga,” katanya.
Shohibul mengatakan, walaupun beberapa pakar hukum mengatakan semangat hukum baru KPK tak lagi membenarkan adanya OTT tanpa persyaratan dan prosedur yang diminta sesuai dengan Revisi UU KPK. Meski demikian, menurutnya secara legal-formal OTT KPK terhadap Walikota Medan tetap harus dianggap sah.
” Saya terkadang bertanya – tanya apakah benar Medan ini seburuk fakta formal yang beruntun dalam kasus korupsi? Berapa besar rupanya peredaran uang di Medan dan yang di korupsi? Setahu saya teori lama tetap berlaku yaitu power tend to corrupt more power its mean more corrupt,” jelasnya.
Dirinya berharap agar daerah lain dan dunia tidak menstigmakan Kota Medan seburuk yang terlihat dari luar karena pejabatnya yang sering tersandung kasus tindak pidana korupsi.
” Mungkin saja KPK memiliki perencanaan kerja dengan target kuantitatif tertentu sehingga dapat melihat besaran kasus Kota Medan yang dianggap harus menjadi wilayah percontohan pemberantasan korupsi. Dengan begitu saya kira rakyat sukar memahami apa sebetulnya substansi korupsi dan motif pemberantasan hukum terhadapnya,” tambah Shohibul.
Hal senada juga diungkapkan oleh Pengamat Politik Universitas Sumatera Utara (USU) Fernanda Putra Adela. Dirinya menyesalkan terjaringnya Walikota Medan, Tengku Dzulmi Eldin dalam Operasi Tangkap Tangan KPK.
” Sangat disesalkan tentunya. Belum pernah kita memiliki Walikota hasil Pilkada langsung yang bebas dari kasus korupsi,” katanya.
Dirinya juga menganggap persoalan cost politik di Indonesia menjadi salah satu faktor masifnya tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pejabat daerah maupun pusat. Namun, ia menegaskan bahwa persoalan terbesar adalah moralitas yang terdegradasi. Lebih tepatnya, menurut Fernanda kekuasaan yang terbentuk bersifat oligarki sehingga korupsi hadir di lingkaran kekuasaan.
” Kemungkinan besar juga dengan banyaknya pejabat tertangkap kasus dugaan korupsi ini menimbulkan sikap skeptis masyarakat terhadap pejabat. Tapi yang harus kita ingat Pilkada merupakan wujud kedaulatan rakyat untuk memilih langsung pemimpinnya. Kita berharap kejadian kasus korupsi yang terus menimpa Walikota Medan beberapa tahun terakhir dapat dievaluasi oleh masyarakat dalam menentukan pilihan ke depannya,” jelas Fernanda.
Selain itu, menurutnya juga perlu kesadaran masif di masyarakat untuk tidak memilih calon karena pertimbangan politik uang sehingga melahirkan pemimpin yang korup. Harapannya tentu untuk melahirkan pemimpin yang amanah karena lahir dari sebuah amanah oleh masyarakat.
Bersamaan dengan itu, ia juga berharap agar partai politik dapat memberikan perannya dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi yang semakin masif. Terlebih dahulu, partai politik harus kembali ke fungsinya yang bukan hanya sebagai wadah rekrutmen politik. Namun, lebih kepada sekolah kepemimpinan untuk menghasilkan orang – orang baik yang akan dijadikan pemimpin di masyarakat.
Tr : Agung Safari Harahap