Dikutip dari Wikipedia, Literasi merupakan istilah umum yang merujuk kepada seperangkat kemampuan dan keterampilan individu dalam membaca, menulis, berbicara, menghitung, dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian tertentu yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam bahasa latin, Literasi disebut sebagai literatus yang berarti orang belajar.
Dalam hal ini, penulis mengkerucutkan akan membahas perihal minat membaca Indonesia yang sangat jauh dari kata memuaskan untuk Negara yang sedang berkembang.
Indonesia, Negara yang berpenduduk lebih dari 260juta jiwa. semangat berliterasi di Negara yang sudah merdeka hampir 74tahun lalu ini sangat minim. Terbukti,dari hasil penelitian Program for International Student Assesment (PISA) pada tahun 2015 lalu menempatkan Indonesia di peringkat 62 dari 70 Negara. Demikian juga setahun sesudahnya, kali ini giliran Central Connecticut State University (CCSU) yang melakukan survei dengan bertajuk “world’s Most Literate Nations“ menempatkan Indonesia peringkat 60 dari 61 Negara yang disurvei. Persis Indonesia hanya unggul dari 1 Negara Afrika bagian selatan yaitu Republik Botswan dan Finlandia sebagai Negara terbaik dalam hal berliterasi.
Fakta yang telah dipaparkan pada paragraf di atas merupkan suatu hal yang sangat memalukan untuk diakui dan sangat mengerikan jika hal tersebut terus berlanjut sampai sekarang. Sebab hal demikian semestinya harus ditinggalkan sedari sekarang. Maka dari itu dan seharusnya pemerintah bekerja keras dan berpikir cerdas bagaimana cara menumbuhkan semangat berliterasi bangsa Indonesia. Bukan malah sebaliknya, ketika ada sekelompok atau segelintir orang yang mencoba menebar benih-benih semangat berliterasi malah dipersulit izin untuk membuka lapak baca ataupun yang sejenisnya bahkan diberhangus. Seperti yang terjadi di Probolinggo beberapa waktu lalu.
Razia Buku
Dua mahasiswa yang tergabung dalam komunitas vespa yang juga sebagai penggiat literasi ditangkap Polsek Kraksaan, Probolinggo, Jawa timur, pada Sabtu (27/07) malam. Kedua mahasiswa ditangkap hanya karena membawa buku untuk dipamerkan di lapak baca mereka adalah buku biografi Dipa Nusantara (DN) Aidit. Kedua mahasiswa tersebut adalah Muntasir Billah (24) warga Desa Jati Urip, Kecamatan Krejengan dan Saiful Anwar (25) warga Desa Bago, Kecamatan Besuk, Kabupaten Probolinggo.
Berita tersebut merupakan hantaman keras dan juga keji untuk para penggiat literasi dan juga bagi yang peduli untuk menumbuhkan semangat berliterasi kepada bangsa Indonesia. Dimana pada saat ini, mereka yang secara sukarela berusaha untuk menumbuhkan minat baca bangsa Indonesia malah mendapat pukulan dari aparatnya sendiri yang seharusnya melindungi, mengayomi bahkan sepantasnya mendukung apa yang telah diperbuat oleh para penggiat literasi.
Dikutip dari tirto.id, berdasarkan rilis polisi yang diterima setidaknya terdapat empat buku yang dianggap ilegal untuk dikonsumsi oleh bangsa Indonesia yang terdapat oleh kedua mahasiswa tersebut, yaitu : Aidit “Dua Wajah Dipa Nusantara”, Menempuh Djalan Rakjat D,N Aidit, Sukarno Maexisme & Leninisme, serta D.N Aidit “sebuah Biografi Ringkas”. Memang dari daftar-daftar buku tersebut merupakan buku kiri bahkan terdapat buku perihal biografi DN Aidit yang merupkan terduga kuat sebagai dalang dibalik peristiwa mengerikan G30S PKI dimasa Orde Baru pada saat itu. Yang meninggalkan sejarah kelam bagi peradaban bangsa Indonesia, yang juga meninggalkan traumatik mendalam hingga sekarang.
Namun sangat disayangkan jika karena hal demikian buku-buku kiri tersebut dirazia untuk disita atau bahkan diberhanguskan. Kendati merupakan golongan buku kiri, tapi bukan berarti buku tersebut akan menebar paham yang nantinya akan membuat celaka bagi Indonesia seperti halnya yang pernah terjadi pada tahun 1965 dimasa Orba. Menurut saya, baik aparat maupun pemerintah jangan terlalu berlebihan menanggapi atau takut pada buku-buku kiri sampai-sampai harus disita seperti itu, bagaimanapun isinya, seperti apapun pemahamannya yang namanya buku sumber bacaan, memberikan nutrisi untuk pikiran. Jadi sangat tidak pantas untuk ditertibkan.
Apalagi pada saat ini, seharusnya sweeping buku merupakan hal yang tabu untuk dilakukan setelah pada tahun 2010 berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi mencabut Undang-Undang Nomor 4/PNPS/1963 tentang Pengamanan Terhadap Barang-Barang cetakan yang Isinya Dapat Menganggu ketertiban Umum. Dengan demikian berarti dapat dipahami bahwasanya tidak ada lagi yang berhak untuk melarang-melarang peredaran buku di Indonesia saat ini selama Undang-Undang tersebut masih berlaku. Selain itu dapat juga dikatakan bahwa aparat dalam hal ini tidak paham akan hukum yang berlaku.
Namun jika ada buku yang kiranya tidak pantas untuk disebarluaskan atau dikonsumsi oleh orang tertentu maka seharusnya melalui pelaporan terlebih dahulu lalu disertai bukti yang cukup kuat untuk menindak lanjuti ke proses hukum, ada proses peradilan dalam hal pengamanan buku tersebut. Seperti apa yang dikatakan oleh Maria Farida yang merupakan salah satu hakim konstitusi ketika membacakan putusan mencabut UU NO 4/PNPS/1963, dikutip dari BBC tulisan 2010 lalu “Tanpa melalui proses peradilan, merupakan proses eksekusi ekstra judisal yang tentu saja sangat ditentang di sebuah Negara hukum” sekali lagi, dengan demikian yang telah dilakukan oleh aparat di Probolinggo merupakan suatu kesalahan fatal yang seharusnya sangat tidak layak terjadi oleh aparat.
Kesimpulan
Yang pertama saya ingin mengatakan sungguh miris Indonesia pada saat ini, hanya karena sejarah kelam komunisme khususnya peristiwa G30S PKI 1965 mengakibatkan phobia buku kiri hingga sejauh dan sedalam ini. Menyikapi peristiwa mengerikan tersebut dengan memberhangus buku adalah keputusan yang tidak tepat, tindakan tersebut merupakan suatu kebodohan yang disengaja dan yang lebih parahnya lagi disadari, namun laten bahaya PKI sudah mendarah daging di pemerintahan Indonesia saat ini, jadi menafikan kebodohan adalah suatu keharusan dilakukan demi mencegah suatu hal yang kemudian hari ditakuti akan terjadi.
Namun bagi saya, apa yang telah dilakukan dan dijalankan oleh pemerintah khususnya aparat yang telah melakukan sweeping tindakan tersebut bukan saja keliru secara prinsip namun juga merupakan praktik kesia-siaan yang sedang dijalankan. Kenapa tidak? Jika kita mengacu pada Negara yang menganut azas-azas demokrasi,maka apa yang telah dilakukan oleh aparat telah membatasi kebebasan pikiran yang seharusnya demokrasi membenarkan hal itu. Selain itu, secara prinsip juga kebebasan demokrasi menghargai perbedaan,kebebasan berpendapat dan juga secara amanat konstitusi ialah mencerdaskan kehidupan bangsa.
Peneliti Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D) Rocky Gerung, disalah satu Stasiun TV pada saat talkshow mengatakan “cara yang benar memahami demokrasi ialah merawat perbedaan bukan memaksakan keberagaman menjadi seragam” dengan demikian perbedaan dalam memahami keberagaman buku merupakan suatu kebenaran, pikiran bebas dan kritis merupakan bukan suatu kesalahan. Menghalang halangi dan melarang membaca buku yang semestinya dapat dianggap anti demokratis, dan itu terjadi di tubuh pemerintah. Sebuah fakta yang seharusnya haram ditemukan di dalam tubuh suci pemerintah.
Lagipula dizaman revolusi 4.0 yang serba canggih saat ini segala sesuatu sangat mudah diakses, sangat mudah didapatkan,sangat mudah untuk ditemui dan sangat mudah mencari informasi dan mempelajari apapun segala sesuatu yang diinginkan. Jadi, apa yang telah dilakukan oleh aparat Probolinggo ketika sweeping lapak baca penggiat literasi merupakan kesia-sian yang melahirkan kemubaziran tenaga dan waktu yang merugikan dirinya sendiri. Ditengah rendahnya minat baca bangsa Indonesia, pelarangan buku semestinya ditiadakan. Biarkan buku apapun itu hidup di tubuh bangsa Indonesia, mengakar di lingkungan Indonesia, hijau subur di lingkungan Indonesia, menjadi nafas bagi kehidupan bangsa Indonesia. Sebab duta baca Indonesia, Najwa Shihab pernah berkata “temukan satu buku yang membuatmu jatuh cinta untuk membaca” tidak semua orang mempunyai selera bacaan yang dianjurkan oleh pemerintah, ada beberapa orang yang memiliki selera lain dari apa yang diinginkan pemerintah. Maka dari itu, biarkan bangsa Indonesia membaca buku apa saja agar tidak semakin tertinggal dari bangsa-bangsa lain yang selalu terbuka kepada ide-ide baru dan pengetahuan baru yang disebabkan karena tidak pernah absen membaca walau sedetik.
Tr : Mahdaraf Sanjani