Teropongdaily, Medan-Runtuhnya bangunan Pondok Pesantren Al-Khoziny di Sidoarjo bukan hanya tragedi yang merenggut nyawa, tetapi juga alarm keras tentang lemahnya kesadaran terhadap standar keselamatan konstruksi di lembaga pendidikan. Ketika tempat yang seharusnya menjadi ruang aman untuk belajar dan beribadah justru berubah menjadi lokasi duka, muncul pertanyaan mendasar, apakah keselamatan benar-benar sudah menjadi prioritas, atau hanya sekadar formalitas di atas kertas?.
Dilansir dari detik.com, bangunan yang awalnya dirancang hanya untuk satu lantai kemudian ditambah lantai baru tanpa analisis kekuatan pondasi. Fakta ini menunjukkan lemahnya pengawasan serta pengabaian terhadap prinsip perencanaan teknis. Keputusan sederhana menambah ruang belajar atau asrama ternyata bisa berujung fatal bila tidak disertai perhitungan dan keahlian memadai.
Korban terbanyak adalah para santri, anak-anak muda yang sedang menuntut ilmu agama. Lebih memilukan lagi, mereka tertimpa bangunan saat melaksanakan shalat. Bagi keluarga, kehilangan ini menjadi luka seumur hidup. Bagi masyarakat, tragedi tersebut seharusnya menjadi pelajaran mahal tentang konsekuensi dari kelalaian kolektif.
Pemerintah daerah maupun pusat perlu menjadikan insiden ini momentum untuk memperketat aturan. Izin Mendirikan Bangunan (IMB) atau dokumen serupa tidak boleh dianggap sebatas syarat administratif, melainkan instrumen vital untuk menjamin keamanan. Jika ditemukan bangunan pendidikan yang tidak memenuhi standar teknis, langkah tegas harus diambil meskipun pahit.
Di sisi lain, kesadaran masyarakat juga masih lemah. Banyak pengelola pondok atau yayasan lebih fokus pada kebutuhan ruang dan jumlah murid ketimbang memperhatikan kelayakan bangunan. Padahal, keselamatan santri sama pentingnya dengan kualitas pengajaran. Mengabaikan hal ini sama saja dengan menyiapkan panggung bagi tragedi berikutnya.
Tragedi Sidoarjo juga membuktikan adanya solidaritas bangsa: tim SAR, tenaga medis, hingga warga sekitar bergerak cepat membantu korban. Namun sehebat apa pun reaksi darurat, hal itu tidak akan mampu menutupi kenyataan pahit bahwa pencegahan seharusnya jauh lebih diutamakan dibanding penanganan pasca-kejadian.
Peran Kementerian Agama dan lembaga terkait sangat krusial. Mereka tidak cukup hanya menyampaikan belasungkawa, tetapi juga wajib membangun sistem pengawasan ketat terhadap sarana pendidikan keagamaan di seluruh Indonesia. Audit konstruksi, pelatihan manajemen bangunan, hingga pendampingan teknis perlu dilakukan agar tragedi serupa tidak terulang.
Akhirnya, tragedi ini harus menjadi titik balik. Ia tidak boleh hanya menjadi headline yang dilupakan setelah beberapa hari, melainkan momentum perubahan nyata. Keselamatan anak bangsa tidak bisa ditukar dengan kelalaian, kecerobohan, atau alasan keterbatasan dana. Jika pondok pesantren adalah benteng moral, maka bangunannya pun harus menjadi benteng fisik yang kokoh tempat para santri merasa aman, bukan waswas.
Tr: Muhammad Iqbal Arif