Teropongdaily, Medan-Lembaga Sensor Film (LSF) menghadirkan Ketua Subkomisi Data Pelaporan dan Publikasi, Dra. Rita Sri Hastuti, Dr. Ahmad Yani Basuki M. Si., Ketua Komisi ll Bidang Pemantauan dan Advokasi, Ketua Subkomisi Dialog, Nooca Massardi.
Ketua Subkomisi Data Pelaporan dan Publikasi, Dra. Rita Sri Hastuti menjelaskan bahwa film merupakan media komunikasi massa.
“Film merupakan media komunikasi massa. Lalu pemerintah membentuk LSF dengan bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri, bersifat tetap dan independen sesuai UU No.33 tahun 2009 serta fungsi disesuaikan dengan UU,” ujarnya.
Rita juga menyampaikan film yang disensor adalah semua materi yang direkam.
“Film yang disensor yaitu reality show, siaran langsung dan semua tayangan dimanapun dengan semua materi yg direkam. Lalu akan mendapat Surat Tanda Lulus Sensor (STLS),” kata Ketua Subkomisi Data Pelaporan dan Publikasi.
Nooca pun menjelaskan terkait pelaksanaan sensor mandiri dan gerakan sensor mandiri.
“LSF melaksanakan roadshow ke tiap provinsi untuk menyampaikan sensor mandiri, yakni upaya masyarakat untuk memilah tontonan sesuai usia termasuk dalam keluarga. Sedangkan gerakan sensor mandiri, untuk mendiseminasi informasi dan literasi publik agar masyarakat bisa memilah dan memilih tontonan sesuai klasifikasi usia,” tuturnya.
Nooca juga menjelaskan bahwa pembuat film tidak pernah membuat target umur.
“Pembuat film hampir tidak pernah membuat target umur dalam filmnya. Lalu langsung diserahkan semuanyaa ke LSF, setelah diklasifikasikan oleh LSF ternyata kadang tidak sesuai dengan target umur yang diharapkan pembuat film,” katanya.
Kepala Biro Hubungan Masyarakat (HUMAS) UMSU, Ribut Priadi mengatakan bahwa penulis adala penguasa yang berkuasa membangun makna.
“Penulis adalah penguasa yang berkuasa membangun makna. Dan kalian disini semacam duta bagi teman kalian, diharapkan paham informasi, tahu membedakan bahwa realitas yang ditayangkan itu sebuah realitas semu,” tuturnya.
Tr : siti rifani & annisa alivia