Teropongdaily, Medan- Kematian eks Perdana Menteri Jepang, Shinzo Abe, beberapa hari lalu tentunya menarik perhatian setiap orang di dunia. Warga Jepang pastinya sangat terpukul dengan kejadian yang menimpa mantan Perdana Menteri mereka tersebut. Bagaimana bisa kejadian penembakan itu terjadi di salah satu negara teraman di dunia?Â
Tentunya kalian pernah mendengar istilah Si vis pacem, para belum. Barang siapa yang menginginkan perdamaian, maka bersiaplah untuk berperang. Jepang selaku negara termaju dan salah satu yang teraman di dunia pastinya sudah sangat paham dengan maksud pribahasa tersebut.
Jepang memiliki sejarah yang panjang soal perang. Jauh sebelum keterlibatan mereka pada Perang Dunia II, Jepang sudah lebih dulu mengalami perang saudara berdarah selama ratusan tahun. Hal itu bisa kita lihat pada sejarah mereka, baik pada era Sengoku, Edo, dan Restorasi Meiji.
Setiap orang ada masanya, dan setiap masa ada orangnya. Di era Sengoku, kita bisa melihat bagaimana Oda Nobunaga, selaku kepala dari Klan Oda, ingin menyatukan Jepang dalam satu panji “Oda”. Segera, Jepang berubah menjadi kolam darah. Ratusan bahkan mungkin jutaan orang harus terbunuh demi melanggengkan ambisinya menyatukan Jepang. Namun sayang seribu sayang, ambisinya harus pupus di tangan jenderalnya sendiri, Akechi Mitsuhide, yang berkhianat. Padahal unifikasi Jepang hanya tinggal di depan mata.
Meski tubuh mati, harapan akan terus hidup, dan mimpi akan terus bersemi. Mungkin itulah yang dipikirkan oleh salah satu Jenderal kepercayaannya Nobunaga, Toyotomi Hideyoshi. Meskipun tuannya telah mati karena pengkhianatan keji, Hideyoshi melanjutkan mimpi tuannya untuk menyatukan Jepang. Namun kali ini bukan dengan panji Oda milik tuannya, melainkan miliknya pribadi. Jepang berhasil ia satukan. Dan kini semenanjung Korea menjadi target berikutnya.
A man with full of ambition is easly broken. Hideyoshi harus rela ditelan oleh ambisinya. Tak lama setelah keinginananya menaklukan Korea, kesehatannya perlahan memburuk dan hal tersebut pun memberi dampak buruk bagi kekuasaannya. Kini segala jerih payah yang dibangunnya hancur begitu saja. Kegagalannya dalam menaklukan semenanjung Korea menjadi pukulan telak dan tentu melemahkan posisinya. Tak lama setelah itu, kepemimpinan Shogun Toyotomi Hideyoshi pun diambil oleh Tokugawa Ieyasu dan era Sengoku pun berakhir.
Di bawah kepemipinan Tokugawa Ieyasu, Jepang masuk ke dalam babak baru. Era Edo pun dimulai. Hal ini ditandai dengan pertumbuhan ekonomi dan kebudayaan yang begitu pesat. Di era ini, Jepang menjadi sebuah negara yang maju peradabannya namun di saat yang sama terisolir dari dunia luar. Kekuasaan keshogunan Tokugawa pun bertahan selama 300 tahun.
Seiring dengan cepatnya perkembangan zaman, terlebih saat Komodor Perry berhasil mendarat di Jepang dengan pasukannya. Komodor Perry datang bersama pasukannya menggunakan kapal perang lengkap dengan canon menjulang yang seolah-olah siap menerjang. Miris bila dibandingkan dengan Jepang yang saat itu masih menggunakan kapal perang kayu. Di saat itulah publik Jepang dan kekaisaran sadar bahwa Jepang yang mereka bangga-banggakan sudah sangat tertinggal peradabannya.
Tak lama setelah ayahnya meninggal, Kaisar Meiji naik takhta. Ia memulai era baru Jepang yang disebut dengan Era Meiji. Tak lama berselang, revolusi atau yang biasa lebih dikenal dengan sebutan Restorasi Meiji dicanangkan. Restorasi Meiji merupakan masa di mana semua kekuasaan di kembalikan kepada Kekaisaran. Sistem daimyo dan keshogunan dihapuskan. Bahkan samurai tidak diijinkan lagi menggunakan pedang mereka. Tentunya hal tersebut merubah struktural politik dan sistem pemerintahan Jepang secara keseluruhan. Perang pun pecah di antara kedua pasukan. Di antara pasukan yang setia kepada kaisar dengan pasukan yang setia kepada keshogunan Tokugawa. Jepang untuk kesekian kalinya menjadi kolam darah. Perang ini dimenangkan oleh pasukan kaisar. Restorasi Meiji berhasil. Ini menjadi titik awal lahirnya Jepang modern seperti yang kita kenal sekarang.
Lanjut pada masa Perang Dunia Kedua. Saat itu dunia dibagi menjadi dua blok. Blok sentral dan blok sekutu. Jepang memilih menjadi tandem Jerman dan Italia di blok sentral. Jepang memulai debutnya dengan menyerang pasukan Amerika di Pearl Harbour, Hawai. Serangan tersebut sukses besar dan menjadi kekalahan telak bagi Amerika. Namun bukan Amerika namanya kalau tidak balas dendam. Dalam kurun waktu kurang lebih 4 tahun, Amerika membalas serangan tersebut dengan serangan yang mengubah cara pandang kita semua soal perang. Amerika membom atom Kota Hiroshima dan Nagasaki. Ratusan bahkan jutaan warga tak bersalah meregang nyawa. Dengan ini, Jepang resmi sudah kalah.
Dari semua babak sejarah yang telah dilalui Jepang, kita bisa melihat bagaimana narsistik dan ambisiusnya pemimpin mereka. Dari sana kita bisa menarik kesimpulan bahwa pemimpin dengan kharisma tinggi sekalipun dapat dikalahkan dengan irasionalitas nafsu dan ambisi mereka. Konon lagi kita masyarakat biasa.
Maka dari itu, peristiwa yang menimpa eks Perdana Menteri Jepang, Shinzo Abe, merupakan hal yang lumrah. Apalagi bagi Amerika dan Inggris. Pembunuhan tokoh politik menjadi hal yang biasa di sana. Yang membuat kasus ini luar biasa dan kelewat ngeri itu karena terjadi di Jepang, selaku salah satu negara teraman di dunia. Apalagi saat kita membaca motif Yamagami, si pembunuh.
Satu hal yang saya soroti dari Tetsuya Yamagami. Yamagami membunuh Shinzo Abe semata-mata karena ia yakin bahwa Abe terlibat dalam sebuah kelompok keagamaan, yang mana kelompok keagamaan tersebut diberi sumbangan oleh ibunya dengan jumlah sangat besar, sampai-sampai hal tersebut membuat keluarganya jatuh bangkrut. Tak terima dengan kondisi keluarganya yang jatuh miskin, hal tersebut lalu dijadikan Yamagami sebagai alasan untuk membunuh Shinzo Abe.
Meskipun Abe kerap dikaitkan dengan sebuah organisasi keagamaan, hal tersebut tidak membenarkan motif yang dimiliki Yamagami. Belum tentu organisasi yang ia maksud benar memiliki keterkaitan dengan Shinzo Abe. Tentunya ini tuduhan yang tidak berdasar, subjektif dan irasional.
**
Semakin maju dan aman sebuah negara, maka hal itu semakin mendorong warganya depresi. Timbul pula berbagai macam penyakit mental lainnya. Mengutip tulisannya Eric Weiner di salah satu bukunya yang berjudul “Geography of Bliss”, dalam salah satu bab ia mengatakan bahwa, “Semakin maju sebuah negara maka semakin mendorong rakyatnya untuk menjadi depresi. Bahkan di beberapa negara maju, keinginan untuk bunuh diri tersebut d fasilitasi.”
Maka di sini kita dapat menarik benang merahnya. Pertama. Semakin maju sebuah negara, semakin mendorong rakyatnya untuk depresi. Depresi tersebut lalu mendorong sebagian rakyatnya untuk bertindak irasional. Dan bukan rahasia lagi, kejadian yang menimpa Shinzo Abe adalah satu dari sekian banyak kejahatan tidak masuk akal yang pernah terjadi di Jepang. Kalau lah irasionalitas dan depresi sering dialami oleh masyarakat yang tinggal di negara maju, lalu bagaima dengan kita yang tinggal di negara berkembang?
Dalam hidup, sering kali kita membuat pilihan yang irasional. Baik di kehidupan pribadi, maupun berorganisasi. Irasionalitas sudah seperti teman bagi kita semua.
Dalam kehidupan berorganisasi, misalnya. Sering kita lihat bagaimana tokoh-tokoh politik berbicara hal-hal yang tak masuk di logika. Bukan hanya tokoh politik, bahkan lembaga pemerintahan sendiri pun kerap membuat kebijakan yang tak masuk di akal.
Kita pun, yang notabene mahasiswa biasa, tak luput dari irasionalitas. Sering kita melihat bagaimana kakak-abang kita, teman kita, bahkan kita sendiri, bertindak secara irasional. Bergerak berdasarkan perasaan dan ego semata. Padahal sudah jelas bahwa kepentingan organisasi dan tujuan organisasi mendahului kepentingan pribadi. Namun yang terjadi justru sebaliknya. Kita bertindak berdasarkan perasaan. Jelas disebutkan di Al Qur’an, “Afala Ta’qilun (apakah kau tidak berpikir)”. Hanya saja kita terlalu bebal.
Ini menjadi catatan bagi kita semua. Di mana pun kita berada, hiduplah berdasarkan pada akal dan hati nurani. Akal saja tak cukup. Apalagi cuma hati. Semoga dengan ini kita terhindar dari golongan orang-orang yang tidak masuk akal.
Tr : Rizali Rusydan
Sumber foto: Quora