Teropongdaily, Medan-Kita punya motif dan alasan tersendiri mengapa memilih. Entah itu negeri atau swasta, harusnya sama saja. Namun tak diduga yang terjadi justru sebaliknya. Disparitas antar si negeri dan swasta semakin jelas terasa.
Begitupun dengan “Si Paling Berprestasi” dan “Si Paling Aktivis”. Statusnya sama: sama-sama mahasiswa. Namun keistimewaan dan stigma yang ada justru seolah-olah memisahkan mereka menjadi dua entitas yang berbeda.
Si Paling Berprestasi yang senyap, namun bolak-balik memboyong banyak prestasi, kerap dielu-elukan, dan dijadikan role model/tokoh yang layak digugu dan ditiru. Sementara itu, Si Paling Aktivis yang berisik dan kerap mengkritik, justru menjadi sasaran dan kambing hitam. Dihindari, mungkin juga dianggap julid. Padahal keduanya sama saja: mereka lahir sebab nalar kritis dan kepedulian kepada kampusnya.
Universitas sebagai sebuah institusi pastinya membutuhkan prestasi. Untuk akreditasi juga mendongkrak marwah perguruan tinggi. Tidak benar apabila kampus nihil prestasi dan tidak benar pula bila kampus minim diskusi terbuka kritis.
Mahasiswa dengan rela hati menundukkan kepala, bahkan bagi si kritis yang kerap menentang, pada akhirnya akan tetap tunduk dan patuh kepada kampus. Sebab ia adalah satu dari sekian elemen yang mewarnai kampus itu sendiri. Namun, universitas tidak bisa semena-mena me-nol-kannya.
Mahasiswa bukan sapi perah, yang diperas guna prestasi dan akreditasi A. Tanpa mahasiswa, kampus hanyalah bangunan kosong megah berhantu tanpa penghuni di dalamnya. Keduanya saling berkelindan, bertaut, dan saling membutuhkan. Maka dari itu fasilitas kampus seharusnya membantu berkembang tidak hanya kepada si paling berprestasi dan si aktivis, tetapi juga setiap kalangan yang ada.
Pendidikan inklusif yang merangkul semua pihak itulah yang diinginkan Ki Hajar Dewantara dan dakwah juga gerakan inklusif di antara setiap elemen masyarakat menjadi cita-cita besar Muhammadiyah. Sebagai kampus yang menjadi amal usaha Muhammadiyah seharusnya jauh lebih paham. Kalau tidak, sebaiknya bapak-bapak, ibu-ibu yang terhormat bisa luangkan waktu, untuk membaca atau menonton film kartun: Totto-chan Gadis Kecil di Jendela.
Mahasiswa bukan sapi perah prestasi semata. Hilangkan sistem feodal yang sudah melekat dan menyusup di setiap sendi kehidupan. Sebab, kau, aku, dan mereka, juga para petinggi kampus dulunya seorang mahasiswa. Mahasiswa bukan sapi perah. Jangan hanya prestasi, tapi juga dialog terbuka di setiap lorong, lapangan, kantin, biarkan saja. Jangan demi menjaga akreditasi semata, menjaga estetika, nalar kritis dibungkam. Sebab prestasi dan akreditasi yang dibanggakan itu terlahir dari diskusi kritis yang kerap dihalang-halangi.
Tr: Rizali Rusydan
Editor: Salsabila Balqis