Teropongdaily, Medan-Bagi mahasiswa, Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) masih dianggap sebagai tolok ukur utama kesuksesan. Namun, apakah IPK tinggi menjamin karier yang cemerlang? Dunia kerja justru menunjukkan fakta berbeda: banyak lulusan ber-IPK tinggi kesulitan bersaing karena minim pengalaman dan keterampilan praktis.
IPK memang penting sebagai syarat administratif. Survei Deduktif.id pada 2024 menyebutkan bahwa 64,5% perusahaan masih mencantumkan IPK di atas 3,5 sebagai kualifikasi awal. Namun, setelah seleksi berkas, pertimbangan bergeser pada soft skill seperti komunikasi, kepemimpinan, dan kemampuan kerja tim. Hal-hal yang tidak dapat dibuktikan hanya melalui transkrip nilai.
Survei LinkedIn tahun 2022 bahkan menempatkan soft skill di atas hard skill akademik, terutama bagi pelamar tahap awal. Hal ini membuktikan bahwa dunia kerja lebih membutuhkan karakter dan kemampuan adaptasi, bukan hanya kecerdasan akademik.
Masalahnya, masih banyak mahasiswa yang terlalu fokus mengejar IPK hingga melupakan pentingnya pengalaman berorganisasi, magang, atau proyek kolaboratif. Padahal, pengalaman-pengalaman inilah yang sering kali menjadi bahan pembahasan saat wawancara kerja.
Apakah itu berarti IPK tidak penting? Tentu saja penting, sebagai bukti kedisiplinan akademik. Namun, menjadikannya satu-satunya tolok ukur adalah sebuah kekeliruan. Dunia kerja mencari sosok yang utuh secara intelektual, emosional, dan sosial mereka yang tangguh, adaptif, dan siap memberikan solusi.
Jadi, mulai sekarang, jangan hanya mengejar angka. Kejar kualitas. Seimbangkan pencapaian akademik dengan pengembangan diri. Karena di luar sana, yang paling dibutuhkan bukan sekadar yang pintar, melainkan yang siap bekerja dan tumbuh bersama dunia yang terus berubah.
Tr: Anggun Nihma
Sumber Foto: Canva





















