Teropongdaily, Medan-Baru-baru ini, Wakil Presiden RI menyoroti pentingnya pemanfaatan kecerdasan buatan (AI) dalam dunia pendidikan. Beliau menyatakan bahwa penguasaan teknologi, termasuk AI, adalah kunci untuk menghadapi tantangan zaman. Pernyataan ini patut diapresiasi, tapi ada yang perlu digarisbawahi: apakah sistem pendidikan kita benar-benar siap? Atau hanya sekadar euforia teknologi? Apakah kita benar-benar siap, atau cuma ikut-ikutan tren?
Di banyak kampus, AI seperti ChatGPT dan berbagai tools lain sudah sering dipakai. Mahasiswa memanfaatkannya untuk cari ide, bantu nulis tugas, bahkan kadang untuk menyontek. Dosen juga mulai memakai AI untuk menyusun soal atau materi. Tapi dari semua itu, terlihat satu hal: kita lebih sering jadi pemakai, bukan pembuat atau pengkritik AI itu sendiri.
Padahal, tantangan terbesar bukan sekadar menggunakan AI, tapi memahami logika di baliknya, dampaknya terhadap pendidikan, dan bagaimana teknologi ini memengaruhi cara kita berpikir. Kampus sebagai pusat intelektual seharusnya mendorong literasi digital dan etika penggunaan AI, bukan sekadar adopsi tanpa kritik.
Kampus harus jadi tempat yang mendorong mahasiswa untuk melek teknologi secara kritis. Bukan cuma tahu cara pakai, tapi juga bisa bertanya: ini etis nggak? Aman nggak? Adil nggak? Dan kenapa semua itu penting?
Kalau kita hanya jadi pengguna, maka arah pendidikan bisa ditentukan oleh perusahaan teknologi besar. Tapi kalau kita kritis, kita bisa ikut membentuk masa depan itu sendiri. AI memang canggih, tapi jangan sampai mahasiswa kehilangan daya pikirnya.
Mahasiswa harus diberdayakan untuk mengembangkan, mengawasi, dan bahkan mengintervensi penggunaan AI dalam pendidikan. Jangan sampai kita hanya duduk manis, sementara arah perubahan ditentukan oleh algoritma dan segelintir elite teknologi. AI memang menjanjikan, tapi pendidikan yang kritis jauh lebih mendesak.
Tr : Novita