Teropongdaily, Medan-Kebebasan berekspresi di era digital adalah hak fundamental untuk menyampaikan ide dan informasi secara bebas melalui platform digital. Namun, kebebasan ini sering kali dibatasi oleh hukum yang bertujuan melindungi masyarakat dari hal-hal seperti pencemaran nama baik, ujaran kebencian, dan pelanggaran hak cipta.
Kebebasan ini memungkinkan seseorang untuk berdiskusi dan berinteraksi dengan orang lain secara global. Akan tetapi, kebebasan berekspresi di era digital juga memiliki tantangan, seperti penyebaran informasi palsu, ujaran kebencian, dan pelanggaran privasi.
Penyebaran informasi palsu merupakan penyebaran informasi yang tidak akurat dan dapat dengan mudah memengaruhi opini publik. Ujaran kebencian berupa kata-kata kasar dan diskriminatif dapat menyakiti individu atau kelompok tertentu. Sementara itu, pelanggaran privasi terjadi ketika informasi pribadi seseorang disalahgunakan atau disebarkan tanpa izin.
Di sisi lain, kebebasan berekspresi juga memiliki aspek positif. Salah satunya adalah tersedianya platform yang luas. Internet dan media sosial menyediakan ruang yang besar dan terbuka bagi individu untuk menyuarakan pendapat, kritik, dan pandangan tanpa adanya sensor atau batasan dari pihak tertentu seperti sebelumnya.
Aspek positif lainnya adalah meningkatnya partisipasi publik. Hal ini memungkinkan masyarakat untuk berpartisipasi dalam diskusi berbagai isu penting, termasuk isu politik, sehingga memperkuat nilai-nilai demokrasi. Selain itu, kebebasan berekspresi juga mendorong keanekaragaman pandangan dan gagasan yang disampaikan melalui berbagai bentuk komunikasi seperti tulisan, meme, atau tagar.
Di Indonesia, hak untuk berekspresi dijamin oleh UUD 1945, tetapi diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Namun, undang-undang ini kerap menimbulkan perdebatan karena dianggap dapat membatasi kebebasan berekspresi, terutama pada Pasal 27 ayat (3) yang sering disebut sebagai “pasal karet” karena dinilai multitafsir dan berpotensi disalahgunakan.
Meskipun telah dilakukan revisi melalui UU No. 1 Tahun 2024, kritik terhadap pasal tersebut masih muncul karena dinilai bisa digunakan untuk memidanakan ekspresi atau kritik yang dianggap “mencemarkan nama baik”. Oleh sebab itu, penting untuk terus meninjau dan memperjelas aturan agar benar-benar melindungi kebebasan sipil tanpa mengorbankan hak orang lain.
Untuk menghadapi tantangan ini, perlu peningkatan pemahaman masyarakat tentang etika dan hukum di ruang digital agar dapat berekspresi secara bijak dan bertanggung jawab. Upaya juga harus terus dilakukan untuk menyeimbangkan antara perlindungan terhadap individu dari kejahatan siber dan kebebasan berekspresi agar tidak dijadikan alat untuk membungkam kritik atau perbedaan pendapat.
Tr: Widya