Teropongdaily, Medan- “Kau datang tatkala kepentinganku mulai tumbuh dan turun ketika publik sudah mulai menyerbu. Kaulah paman yang ku tunggu, kaulah paman yang kutunggu. Kukira, kau Mahkamah Konstitusi (MK), nyatanya kau cuma ipar Bapak. Kau bukan MK, kau bukan MK”.
Kalimat diatas adalah penggalan lirik dari lagu Amigdala yang berjudul ‘Ku kira Kau Rumah’. Sedikit maksa, memang. Tapi aku harap kalian bisa membayangkan lirik tersebut dengan nada asli lagunya.
Cara apapun diperbolehkan bahkan dihalalkan untuk meraih tampuk kekuasaan. Setidaknya itulah yang dipercaya oleh para Machiavellian. Setiap intrik itu matters. Itu biasa dan sah-sah aja. Namun, kita bukanlah Machiavellian, bukan pula pengikut setia Niccolo Machiavelli. Kita adalah manusia yang kalau Jean Paul Sartre bilang, human is condemned to be free atau manusia dikutuk untuk menjadi bebas. Namun, kita harus kembali ingat bahwa kebebasan yang sebebas-bebasnya itu anarkis. Lagi pula, menjadi Machiavellian bukanlah kita, kita warga negara Indonesia yang katanya paling ramah dan baik tutur kramanya, katanya.
12 tahun bersekolah lalu dilanjutkan dengan lima tahun jenjang perkuliahan dan di setiap periode itu pula tidak ada sekalipun mata pelajaran dan kuliah Pendidikan Kewarganegaraan (PKN) terlewatkan. Kita dididik untuk menjadi warga negara yang baik dan berbudi pekerti sejak dini. Namun nihil, aktualisasi di masa mendatang nanti Itu terbukti dengan kasus korupsi, kolusi dan nepotisme yang tak kunjung bisa diatasi. Ini memang bahaya laten, namun bukan berarti kita bisa menyerah dan menganggap hal tersebut hal yang lumrah. Disitu ada kekuasaan, disitu pasti ada kepentingan. Dimana ada kepentingan, di sanalah ada korupsi, kolusi dan nepotisme.
Saat ini pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme bukannya membaik, justru yang terjadi sebaliknya. Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang tidak memiliki independensi dan sekarang Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) malah ipar sendiri.
Beberapa waktu yang lalu, publik digegerkan dengan adanya gugatan perihal batasan umur untuk menjadi Calon Presiden (Capres) dan Calon Wakil Presiden (Cawapres) yang dilayangkan oleh dua orang mahasiswa. Hal ini menjadi semakin getir karena sudah berkembang narasi di publik, bahwasanya anak sulung Presiden Jokowi akan maju menjadi Cawapres di Pemilihan Umum (Pemilu) mendatang.
Sang Paman pun tidak bisa tinggal diam perihal keinginan keponakannya. Singkat cerita, gugatan dikabulkan dan menghasilkan keputusan yang sangat kontroversial. Dalam putusan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023, MK merumuskan sendiri norma bahwa seorang pejabat yang terpilih melalui Pemilu dapat mendaftarkan diri sebagai Capres-Cawapres walaupun tak memenuhi kriteria usia minimum 40 tahun.
MK mengubahnya menjadi berusia paling rendah 40 tahun atau pernah dan sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui Pemilu termasuk pemilihan kepala daerah. Artinya, orang yang belum berusia 40 tahun bisa maju jadi Capres atau Cawapres selama berpengalaman menjadi kepala daerah atau jabatan lain yang dipilih melalui Pemilu.
Putusan ini seakan memberi tiket untuk putra sulung Jokowi yang juga keponakan Anwar, Gibran Rakabuming Raka, untuk maju pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 dalam usia 36 tahun, berbekal status Wali Kota Solo yang baru disandangnya selama tiga tahun.
Keputusan yang dihasilkan ini tentulah sangat membahayakan konstitusi. Tidak ada urgensi mengubah Undang-Undang (UU) tersebut melainkan hanya demi memuluskan langkah keponakannya, Gibran. Ya lagi-lagi, beginilah yang namanya kepentingan.
Merujuk Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, MK mengadili perkara pada tingkat pertama dan terakhir. Putusan MK dalam perkara pengujian UU terhadap konstitusi bersifat final. Artinya, setelah MK mengeluarkan putusan, tidak terdapat badan peradilan yang dapat menguji kesahihan putusan mereka. Upaya banding, kasasi dan peninjauan kembali tidak berlaku dalam proses peradilan di MK.
Sosok Anwar Usman menjadi perhatian utama usai Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) menjatuhkan sanksi pemberhentian dari jabatan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK). Anwar terbukti melanggar kode etik dan sederet prinsip profesi terkait uji materi pasal syarat batas usia Capres dan Cawapres.
Akan tetapi, Anwar tetap menjabat sebagai hakim konstitusi dengan konsekuensi dilarang ikut menangani perkara terkait syarat batas usia Capres dan Cawapres, serta sengketa Pemilu legislatif Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), pemilihan DPD, pemilihan Presiden, serta pemilihan kepala daerah.
Tentu keputusan ini tidak menyenangkan kita, kita berharap beliau diberhentikan secara tidak hormat. Sebagaimana Dewi Lustitia yang menggenggam pedang dan neraca sambil ditutup matanya. Kita berharap suatu saat pedang tersebut akan menghunus dan neraca tersebut akan menghakimi siapapun tanpa pandang bulu. Karena setiap orang harus diperlakukan sama di hadapan hukum, tanpa memandang status sosial, kekayaan atau kekuasaan.
Tr : Rizali Rusydan
Editor : Restu Adiningsih
Sumber Foto : forumkeadilan.com