Teropongdaily, Medan-Anak-anak di Gaza kini menghadapi musuh yang tak kalah mematikan dari peluru dan bom: kelaparan dan kekurangan gizi. Malnutrisi akut yang menyerang ribuan anak bukanlah akibat bencana alam atau semata kondisi ekonomi, melainkan dampak langsung dari blokade Israel serta terbatasnya akses bantuan kemanusiaan ke wilayah tersebut.
Sejak 2 Maret, Israel menutup sebagian besar jalur penyeberangan utama ke Gaza. Akibatnya, jumlah truk bantuan yang diizinkan masuk bahkan tidak mencapai 50 per hari. Padahal, jalur ini menjadi sumber utama bagi lebih dari dua juta warga Gaza, termasuk anak-anak yang sangat bergantung pada susu formula, makanan bergizi, dan obat-obatan. Ketika akses ditutup, bukan hanya truk yang berhenti, tetapi juga denyut kehidupan.
Laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan lembaga kemanusiaan menunjukkan bahwa lebih dari separuh anak-anak di Gaza kini mengalami malnutrisi akut. Dilansir dari Al Jazeera, pada Mei 2025 saja, lebih dari 5.119 anak usia 6 bulan hingga 5 tahun dirawat karena malnutrisi naik hampir 50% dibanding April. Total sejak awal tahun hingga akhir Mei, lebih dari 16.700 anak telah menjalani perawatan, dengan rata-rata 112 anak per hari.
Di rumah sakit yang kekurangan listrik dan obat-obatan, bayi-bayi kekurangan berat badan terbaring lemah, sementara orang tua mereka hanya bisa menunggu dengan pasrah, dihimpit rasa putus asa dan kehilangan harapan. Semua ini terjadi akibat sistem yang secara aktif mencegah pemenuhan kebutuhan dasar manusia.
Sebagai kekuatan pendudukan, Israel memiliki tanggung jawab hukum internasional untuk menjamin kebutuhan dasar penduduk sipil di wilayah yang mereka kuasai secara militer. Namun yang terjadi justru sebaliknya pembatasan bantuan, penghancuran lahan pertanian, hingga serangan terhadap infrastruktur sipil memperburuk krisis pangan yang telah akut.
Gencatan senjata tidak berarti jika jalur bantuan tetap diblokade. Dunia internasional tidak boleh terus menjadi penonton. Desakan terhadap Israel untuk membuka akses bantuan secara penuh dan permanen harus menjadi prioritas. Tanpa akses ini, setiap anak yang kelaparan di Gaza bukan hanya korban konflik, tetapi juga korban dari kelalaian dunia. Di balik dinding blokade, anak-anak terus bertarung melawan rasa lapar yang tidak pernah mereka pilih.
Tr: Widia Ningsih






















