Teropongdaily, Medan-Hegemoni KTT G20 sudah mulai terasa di awal tahun 2022. Hegemoni tersebut semakin masif menjelang tanggal pelaksanaan. Semua flyer, semua poster, baik institusi pendidikan, pemerintahan, perusahaan swasta maupun negara, di setiap postingan ucapan untuk hari besar Indonesia, terselip secuil logo KTT G20 di atas ataupun di bawahnya. Muncul pertanyaan di kepala, “Apa sih G20 itu?”, “Dan seberapa penting G20?”.
G20 (Group of Twenty) merupakan pertemuan internasional yang terdiri dari 20 negara yang tujuannya adalah untuk menjalin kerjasama baik dari sektor ekonomi dan lainnya. Cikal bakal lahirnya G20 ini disebabkan karena ketidakpuasan para pemimpin negara pada perkumpulan sebelumnya, yaitu: G7 (Group of Seven) yang disinyalir gagal mengatasi permasalahan krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1998. Karena ketidakpuasan tersebut, maka didirikanlah perkumpulan baru yang sekarang kita sebut sebagai G20.
G20 ini merupakan perhelatan penting dan luar biasa besar. Sebab pertemuan ini dihadiri oleh Menteri Keuangan dan para Pemimpin Negara yang tergabung di dalamnya. Pembahasannya pun tidak hanya sebatas pada sektor ekonomi. Pembahasan pada G20 dibagi menjadi dua sub bahasan: 1) Economy Tracks, 2) Sherpa Tracks. Economy Tracks fokus membahas permasalahan ekonomi: penangguhan hutang atau kerjasama multilateral tentang sistem ekonomi. Lalu pada sub bahasan Sherpa Tracks membahas soal isu lingkungan, proyek strategis, climate change, dan energi terbarukan.
674 Milyar rupiah pun digelentorkan untuk perhelatan akbar ini oleh pemerintah. Bukan hanya pemerintah, perusahaan-perusahaan otomotif juga tak mau ketinggalan untuk meramaikan kegiatan tersebut dengan mensuplai mobil-mobil yang “dianggap” ramah lingkungan. Pulau Bali disterilkan. Semua kemungkinan ancaman dihilangkan. Indonesia berhasil membuat acara megah di tengah duka warganya.
Saya paham. Setiap pembangunan berskala nasional pasti membutuhkan korban. Namun pembangunan seperti apa yang membutuhkan korban nyawa manusia? Di sini kita tidak berbicara soal tumbal proyek. Di balik hingar-bingar engergi terbarukan, lonjakan ekonomi yang selalu digaung-gaungkan, malah masyarakat sekitar yang menjadi korban. Hal ini saya ketahui dari tulisan yang diunggah oleh Project Multatuli yang mengambil contoh masyarakat Morowali.
Semenjak tambang nikel didirikan, masyarakat sekitar terkena imbasnya. Masyarakat yang tinggal di sekitar tambang seakan dipaksa untuk berdamai dan hidup berdampingan dengan debu sisa-sisa pembakaran dan penyakit pernafasan. Semenjak tambang didirikan, bukan hanya masalah kesehatan saja yang mereka dapatkan, tapi juga masalah lingkungan. Lalu didirikanlah Pembangkit Listrik Tenaga Uap sebagai upaya menggalakkan energi terbarukan guna mensuplai Morowali Industrial Park (IMIP). Dan ya, sebab limbah proyek tersebut, kini laut-laut memanas, ikan-ikan pergi. Masyarakat Morowali yang terbiasa menggantungkan hidupnya melalui hasil tangkapan laut, kini harus kehilangan mata pencahariannya.
Itu masih proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Morowali, belum lagi proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi yang berada di Sorik Merapi, Maindaling Natal, yang juga sukses memakan korban sebab keracunan gas bocor proyek tersebut.
Hasrat dan nafsu berahi menggenjot pertumbuhan ekonomi melalui tambang dan energi terbarukan yang katanya “ramah lingkungan” ini ternyata membutuhkan korban manusia untuk realisasinya. Saya kembali bertanya-tanya, “Apakah nyawa manusia pantas untuk dikorbankan?”. Hal ini membuat saya heran, ternyata energi terbarukan dan energi hijau ramah lingkungan yang diagung-agungkan kenyataannya tidak ramah-ramah banget dan tidak hijau-hijau banget karena membutuhkan tumbal manusia di dalamnya.
Melihat hingar-bingar G20 ini jadi membuat saya kembali berpikir dan bertanya-tanya, seberapa penting dan mendesak hal ini untuk dilaksanakan.
Kalau kita berandai-andai, perhelatan KTT G20 ini ibarat menutup semua borok di badan dengan sebuah plaster luka. Minim manfaat dan buang-buang uang saja. Jangan sampai acara ini hanyalah hasil dari nafsu berahi demi mendapat pengakuan sebagai negara “elit”.
Sejujurnya kalau disuruh memilih mana perkumpulan yang lebih bermanfaat, saya jujur lebih memilih perkumpulan bapak-bapak wirid malam jumat. Meskipun acaranya jauh dari kesan megah, namun dampaknya cukup nyata dan terasa sebab besek yang diberi dapat mengisi perut kepala keluarga yang keroncongan maupun anggota keluarga.
Sumber foto : g20.org
Tr : Rizali