Teropongdaily, Medan-Di era digital yang serba cepat ini, media sosial telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan mahasiswa. Setiap detik, notifikasi dan konten baru hadir di layar gawai, menawarkan hiburan sekaligus distraksi tanpa batas. Fenomena ini bukan lagi hal baru namun dampaknya terhadap konsentrasi belajar semakin mengkhawatirkan.
Sebagai mahasiswa, saya menyaksikan langsung perubahan perilaku di lingkungan kampus. Teman-teman yang dulu tekun belajar kini lebih sering menatap layar dibanding membaca buku. Saat dosen menjelaskan materi, sebagian sibuk membuka notifikasi TikTok atau Instagram. Berdasarkan survei Kemendikbudristek tahun 2022, sekitar 65% mahasiswa Indonesia menghabiskan waktu 4–6 jam per hari di media sosial. Lebih dari separuh di antaranya mengaku kesulitan fokus saat belajar dan mengalami penurunan rata-rata IPK hingga 0,5 poin.
Dari sisi psikologis, media sosial menciptakan siklus ketergantungan yang disebut dopamine loop suatu kondisi di mana otak terus mencari sensasi kepuasan instan dari notifikasi dan konten baru. Penelitian American Psychological Association (APA, 2020) menemukan bahwa remaja dan mahasiswa yang menghabiskan lebih dari tiga jam per hari di media sosial mengalami penurunan fokus hingga 30%.
Masalah ini semakin kompleks ketika dikaitkan dengan kesehatan mental. Laporan WHO (2021) menunjukkan peningkatan gejala stres dan kecemasan hingga 25% di kalangan remaja dan mahasiswa, salah satu penyebabnya adalah tekanan sosial dari dunia maya. yang memperparah gangguan fokus dan kualitas tidur.
Namun, menyalahkan media sosial sepenuhnya tentu tidak bijak. Platform digital sejatinya adalah alat dan alat selalu bergantung pada bagaimana manusia menggunakannya. Pew Research Center (2022) mencatat bahwa 55% mahasiswa yang menggunakan media sosial untuk tujuan edukatif mengalami peningkatan pemahaman materi sebesar 25%. Artinya, tantangannya bukan untuk menghapus media sosial, tetapi mengatur penggunaannya dengan bijak.
Untuk mengatasi krisis konsentrasi ini, diperlukan langkah konkret dan disiplin pribadi. Mahasiswa dapat mulai dengan digital detox harian, seperti menetapkan zona bebas gawai saat pagi hari atau menjelang tidur. Fitur “mute” atau “focus mode” juga bisa digunakan untuk meminimalisir notifikasi yang tidak penting. Selain itu, mengikuti akun edukatif dan komunitas belajar daring dapat mengubah media sosial dari sumber distraksi menjadi sumber inspirasi.
Pihak kampus pun memiliki peran penting dalam membangun budaya digital yang sehat. Program literasi digital, seminar tentang manajemen waktu, hingga kegiatan offline yang menarik dapat menjadi alternatif positif bagi mahasiswa. Jika dikelola dengan tepat, media sosial bukan lagi musuh, melainkan mitra dalam mencapai prestasi akademik.
Pada akhirnya, fenomena scroll tak berujung adalah cerminan dari tantangan generasi yang hidup di antara arus informasi tanpa henti. Kunci utamanya bukanlah menjauh dari teknologi, tetapi mengendalikan diri di tengah derasnya godaan digital. Mahasiswa harus belajar menata ulang prioritas: kapan waktunya belajar, beristirahat, dan berinteraksi di dunia maya.
Tr: Nabila Sinaga