Teropongdaily, Medan-Haji politik memang sudah menjadi fenomena musiman. Hal ini lazim dilakukan bagi mereka calon anggota dewan yang memiliki hajat atau bagi mereka anggota dewan yang sudah menjabat. Bagi mereka yang masih (calon) anggota dewan hal ini perlu dilakukan guna menarik atensi dan meningkatkan elektabilitas. Sementara bagi mereka yang (sudah) menjadi anggota dewan, ini berguna untuk menjaga elektabilitas guna bekal dipemilihan berikutnya.
Di negara berkembang seperti Indonesia 75% mayoritas masyarakatnya adalah Muslim. Maka dari itu, memiliki citra yang baik dengan cara melaksanakan ibadah haji menjadi sangatlah penting. Bagaimana tidak, muslim di Indonesia itu mayoritas dan otomatis akan banyak suara dari mereka!
Kita yang notabene rakyat bukannya kritis, malah ikut tertipu dengan imaji palsu yang mereka buat. Bagaimana tidak, bagi kita terlihat baik jauh lebih penting ketimbang menjadi baik itu sendiri. Sudah menjadi hal alamiah dan naluriah jika kita akan memvonis segala sesuatu awalnya melalui penampilan. Hanya mereka yang sudah tercerahkan dan teredukasi lah yang tidak akan melakukan hal tersebut.
Maka dari itu dirasa perlu atau memang sangat perlu untuk pergi haji bagi calon anggota dewan dan calon Presiden apalagi menjelang tahun-tahun politik. Selain untuk meminta restu kepada Sang Illahi, hal ini juga dapat membantu mereka menciptakan imaji bahwa mereka adalah seseorang yang religius dan beragama.
Jadi jangan heran kalau isu Suku, Agama, Ras dan Antar golongan (SARA) sampai kapan pun akan terus dibicarakan. Semua itu disebabkan karena tingkat kesadaran dan pemahaman politik di negeri kita yang masih cukup rendah. Jangan heran pula, menjelang tahun politik banyak yang menjadi pribadi yang religius juga alim karena sangatlah mudah memframing sosok calon pemimpin sebagai sosok yang religius sehingga banyak rakyat yang akan percaya lalu kemudian memilihnya.
Kebanyakan rakyat Indonesia memilih seorang calon pemimpin bukan karena visi-misi, program kerja atau kinerja, mereka memilih karena latar belakang agama dan kesalihannya. Calon pemimpin yang memang licik dan cerdik pun memanfaatkan momentum ini lalu voila politik identitas tercipta, strategi pecah belahnya pun terjalankan. Mau sampai kapan perihal isu Suku, Ras, terutama Agama menjadi komoditas utama yang akan selalu dibahas menjelang pemilihan?
Kita mungkin tidak setuju dengan konsepsi pemikiran Machiavelli dan para Machiavellian perihal cara meraih kekuasaan. Sebab kita dituntut untuk menjadi taktis, pragmatis, juga licik. Namun belakangan, justru cara inilah yang dinilai paling realistis dan paling praktis. Tidak ada sopan santun dalam hal politik, tidak ada benar-salah dalam hal politik, selagi itu berguna dan bermanfaat untuk meraih kursi kekuasaan, maka halalkan lah berbagai macam cara.
Tr : Rizali
Editor : Khofifah Aderti Mutiara
Sumber Foto : RADAR BONTANG