Teropongdaily, Medan-Ada sepotong kalimat Sherlock Holmes yang saya ingat. Dia bilang, “Aku akan tetap tinggal di London. Kota ini layaknya sekumpulan benang yang saling bertaut dan kusut. Biar aku yang mengurai dan melerai itu semua.” Itu menjadi analogi yang tepat bila kita sandingkan dengan kita : manusia.
Manusia, tujuh huruf, dengan banyak tafsiran. Kau bisa menyebut manusia dengan apapun yang kau mau. Manusia adalah hewan yang berpikir? Tentu. Manusia adalah spesies yang paling dominan? Jelas. Bahkan jika manusia kau analogikan sebagai benang kusut tak berujung, itu juga masih masuk. Namun, bagiku manusia adalah makhluk paling kompleks yang tersusun dari berbagai macam aspek dan definisi baik itu natural maupun sosial.
Cobalah berurusan dengan manusia niscaya maka tidak akan ada habisnya. Ada saja persoalan yang menyangkut makhluk paling dominan di dunia ini. Namun saya tidak heran, semua itu karena memang kita lah makhluk paling sempurna. Mengapa? Sebab kita memiliki akal, budi luhur dan perasaan.
Sebagai makhluk paling sempurna yang diberikan banyak kelebihan, sudah semestinya dan sewajarnya kita menanggung lebih banyak masalah, persoalan dan tanggung jawab. Kita bertanggung jawab untuk diri sendiri, orang lain, lingkungan dan berbagai macam hal lainnya. Maka dari itu tidak sedikit dari kita yang akan merasa tertekan, stress, karena menanggung beban sebagai manusia.
Tekanan dan stress ini pun berkembang menjadi penyakit mental yang belakangan kian marak digaung-gaungkan. Mulai dari : paranoid, skizoid, narsistik, anti sosial dan banyak lagi. Belum lagi soal perasaan (mood) kondisi hati yang harus selalu dijaga, seolah-olah jika kondisi hati seseorang sedang buruk, seisi dunia harus berhenti dan memperhatikannya. Tidak, kita hanyalah debu di galaksi dan sampah dipikiran sendiri. Kita bukan apa-apa dan siapa-siapa. Kita hanya manusia biasa sama dengan 8 milyar manusia lainnya.
Dibalik kompleksitas tersebut, semua ini dapat dimaklumi sebab kita bukanlah robot atau mesin yang bergerak statis. Kita manusia, cenderung dinamis. Tidak seperti robot, apa yang dilakukan, diucapkan sudah terprogram dengan rapi. Manusia cenderung tidak dapat diprediksi. Sebab, apa yang ia buat, ia ucap, dampak dan outputnya bisa jauh berbeda dari yang kita harapkan.
Manusia ibaratnya adalah wadah besar yang kosong. Sangking dinamisnya, dapat menampung berbagai macam hal. Ideologi? Bisa. Pengetahuan? Bisa. Siasat licik dan jahat? Apalagi. Semua itu bisa kita tampung dan serap. Perihal apakah hal yang kita tampung dan serap akan direalisasikan itu balik ke diri masing-masing. Tergantung hati, pikiran dan akal budi.
Maka dari itu, manusia adalah mahluk paling ribet di dunia. Sudah 20 tahun saya hidup di dunia dan terkadang masih salah untuk menafsirkan sikap orang-orang yang berada disekitar saya semenjak saya dilahirkan di dunia. Bahkan sebagai manusia, terkadang saya bingung dengan diri saya sendiri. Apa maksud Tuhan menciptakan saya dunia? Mengapa tidak menciptakan lebih banyak kucing karena kucing jauh lebih menggemaskan ketimbang kita? Saya bingung. Pertanyaan-pertanyaan mendasar perihal eksistensial kita justru menjadi pertanyaan tersulit yang seolah-olah tidak ada jawabannya.
Tr : Choirun Annisa
Editor : Rizali
Sumber Foto : BBC