Teropongdaily, Medan-Jamaah Tabligh -selanjutnya akan disebut sebagai Jamaah- adalah salah satu gerakan kelompok Islam yang fenomenal. Di dunia, diperkirakan anggotanya mencapai hingga 80 juta orang yang tinggal di sekitar 150 negara, kebanyakan di Asia Selatan. Ia disebut-sebut sebagai ‘gerakan Islam paling berpengaruh di abad ke-20.’ Di Indonesia, hanya membutuhkan waktu dua dekade dan diperkirakan anggotanya sudah mencapai puluhan ribu. Padahal oraganisasi ini tidak berakar di Indonesia, tapi didirikan di India oleh Syeikh Muhammad Ilyas bin Syeikh Muhammad Ismail pada 1926.
Sebagian kalangan mencurigai kelompok ini karena menganggapnya sebagai jaringan Islam garis keras. Di sisi lain, ada pula yang berpendapat kelompok ini hanyalah komunitas dakwah yang bersifat apolitis dan tidak berbahaya.
Saya memutuskan untuk mengenal lebih dekat kelompok ini dengan mendatangi Masjid Islamiyah merupakan Markas Besar Jamaah Tabligh di Medan. Masjid ini berada di lingkungan pemukiman warga keturunan Tionghoa. Di sinilah Jamaah pertama kali melakukan dakwahnya di Sumatera Utara sekitar tahun 1970 an.
Di depan masjid, setiap pagi harinya ada pasar yang dipenuhi dengan bermacam jualan. Dari luar bangunannya tampak sama seperti masjid-masjid pada umumnya. Dinding depan masjid yang dipenuhi warna hijau menambah keidentikan corak-corak khas islam, seperti kaligrafi. Masjid ini sudah seperti markas bagi anggota Jamaah dalam menjalani keseharian, mulai dari beribadah, musyawarah hingga bersilaturahmi.
“Kalau di masjid ini kurang lebih bisa sampai 500 jamaah. Tapi tidak setiap waktu juga di masjid ini, kadang kita juga mendatangi masjid-masjid lain untuk menyebarkan kebaikan di daerah sekitarnya,” ujar Muhammad Razali, seorang anggota Jamaah yang bertugas menjadi imam di Masjid Hidayatul Islamiyah.
Selain Al-Qur’an dan hadis yang menjadi pedoman, Jamaah juga memiliki kitab-kitab bacaan untuk dipelajari dalam kesehariannya. Lima kitab yang paling sering dibaca oleh Jamaah Tabligh. yaitu Fadhilah Amal berisi keutamaan ibadah seperti salat, puasa, mengaji dan berdakwah; Fadhilah Sedekah berisikan manfaat-manfaat sedekah dan berbagi; Muntaqob Hadist yang berisikan dalil-dalil pilihan enam sifat utama sahabat Rasulullah, Fadhilah Hajj berisikan manfaat dan pahala haji, dan Hayyatuh Sahabah yang menceritakan kisah-kisah para sahabat Rasulullah.
Jamaah punya agenda khusus dalam menuntut ilmu. Setiap Sabtu malam mereka menyelenggarakan Bayan, yaitu tausyiah tentang enam sifat sahabat Rasulullah, yang dilanjutkan dengan bermusyawarah membahas berbagai urusan, misalnya rencana keberangkatan khuruj. Tausiyah kembali dilanjutkan di hari Minggu subuh.
Sedangkan sekali dalam sebulan, mereka mengadakan apa yang disebut sebagai Malam Sapujari, yang memiliki agenda padat dari pagi hingga malam hari. Selepas salat subuh dengan Bayan, kemudian dilanjutkan dengan salat isyraq atau yang lazim dikenal salat dhuha. Setelah itu, sarapan bersama, dilanjutkan musyawarah sampai salat zuhur. Setelah itu acara dilakukan dengan taklim yakni belajar ilmu Al Quran dan hadis. Setelah itu kemudian dilanjutkan dengan halaqah tajwid yaitu belajar tata baca Al Quran, kemudian zikir di waktu petang dan tabligh atau ceramah di malam hari.
Pengalaman Berdakwah: Ditimpuk Batu Hingga Dikejar Anjing
Salah satu ciri khas Jamaah adalah adanya konsep khuruj atau perjalanan keluar untuk berdakwah. Dalam aplikasinya khuruj terdiri dari tiga tahap yaitu tiga hari dalam sebulan, 40 hari dalam setahun, dan empat bulan sekali dalam hidup. Pada praktiknya, bahkan ada yang sampai satu tahun lamanya.
Dalam konsepsi Jamaah, seseorang akan dianggap sebagai pengikut jika sudah turut serta dalam khuruj, yang merupakan kewajiban. Menurut tulisan H As’ad Said Ali yang ditayangkan di nu.or.id, landasan hukum khuruj bagi jamaah tabligh berdasarkan ayat-ayat al-Qur’an (Al-Imran : 104 dan Al-Imran :110). Khuruj juga didasarkan pada satu hadits Nabi yang berbunyi “Apabila umatku di akhir zaman mengorbankan 1/10 waktunya di jalan Allah, mereka akan diselamatkan.”
Perjalanan melakukan dakwah ke berbagai daerah ini tak mudah. Perjalanan mereka selama berhari-hari bahkan berpuluh hari tersebut tidak dengan cara menaiki kendaran seperti bus dan pesawat, melainkan berjalan kaki.
“Kami jalan kaki sambil bawa kompor, makanya sering dibecandain kalau kami ini jamaah kompor. Tapi yang jelas ada istirahatnya di masjid-masjid sambil silaturahmi dan menebarkan kebaikan ke saudara-saudara, inshaAllah,” cerita Razali, yang sudah bergabung dengan Jamaah sejak kelas empat SD.
Tak hanya berat secara fisik, secara psikologis pun perjalanan khuruj kerap amat menantang. Menurut Razali, tak jarang anggota Jamaah mendapatkan kecurigaan dan penolakan dari warga. Ia bercerita pengalamannya ketika pergi sendirian selama 40 hari ke Sibolga. Kerap terjadi ketika mengetuk pintu rumah warga, belum apa-apa ia sudah ditolak karena dianggap ingin minta sumbangan. Ia bahkan sampai mengalami tindak kekerasan.
“Kami pernah dilempari batu sama warga,” kisah Razali. “Kami menganggapnya itu hal biasa. Bahkan Rasulullah juga saat berdakwah lebih dari itu cobaannya. Tapi ya itu faktanya kami hingga dilempari batu.”
Razali juga pernah mengalami dikejar anjing saat berdakwah di daerah Sibolga. Dalam keadaan terdesak, ia melantunkan surah Al-Lahab sembari menunjukkan jari telunjuk ke anjing tersebut. Berbagai pengalaman yang dialami para anggota Jamaah ketika melakukan kewajiban dakwah ini beragam, namun secara umum memang masih ada kecurigaan yang diarahkan kepada mereka.
“Berdakwah dan menyebarkan kebaikan di daerah orang lain tentu punya tantangannya sendiri. Akan tetapi semua itu kembali kepada niat awal baik para Jamaah dan tentunya melanjutkan apa yang di perbuat oleh Rasulullah SAW dahulu,” ujar Razali.
JIka melakukan perjalanan dakwah untuk waktu yang panjang seperti itu, lalu bagaimana nasib keluarga mereka?
Saya pernah memiliki pengalaman saat makan di salah satu warung di daerah Sunggal, Kota Medan, dan bertemu dengan seorang ibu yang sedang menangis. Ketika saya ajak bicara, ternyata ibu tersebut menangis karena putranya tergabung dalam Jamaah. Ibu itu bercerita bahwa putranya itu menelantarkan istri dan anak-anaknya saat ditinggal khuruj.
Menurut Razali, sebetulnya berkhuruj namun menelantarkan keluarga itu tak sesuai dengan ajaran yang mereka terima.
“Kami diajarkan untuk tetap menafkahi anak istri kami, misal kami pergi 40 hari, sebelum pergi kami selalu meninggalkan harta dan nafkah kami sesuai dengan kebutuhan anak istri kami selama 40 hari itu juga, Keluarga itu tetap jadi tanggungjawab kami. Jika ada Jamaah Tabligh yang tidak bertanggung jawab atas keluarganya, maka itu adalah perbuatan yang keliru dan tidak sesuai dengan apa yang kami pelajari selama ini,” ujar Razali.
Untuk anggota Jamaah yang melakukan khuruj singkat tiga hari, mereka juga kerap mengajak keluarga turut serta.
Cerita Razali ini dikonfirmasi Suhartini seorang istri anggota Jamaah, tapi suaminya sudah meninggal. Semasa hidupnya suaminya ini sering berdakwah keluar kota, misalnya ke Jambi dan Palembang selama berhari-hari.
“Beliau selalu memberikan nafkah, meninggalkan uang sebelum berangkat. Untuk anak-anak sekolah, kehidupan sehari-hari dan makan,” tutur Suhartini. “Suami saya juga meluangkan waktu untuk mengabari, menanyakan anak-anaknya, udah salat atau belum, udah mengaji atau belum.”
Dr. Ahmad Anzai Albaroesy, Direktur Lembaga Dakwah MPP ICMI Muda dan ustad Masjid Al-Mu’awanah Medan, memandang gerakan Jamaah sebagai sesuatu yang positif. Jamaah menjadi anak panah umat islam, yang bisa menjangkau pelosok-pelosok negeri, hingga rela mengeluarkan harta, tenaga dan pikiran. Di sisi lain, ada aspek yang juga penting diperhatikan.
“Saya tidak menyalahkan, memang mereka meninggalkan nafkah kepada keluarga mereka sebelum bepergian, tapi keluarga dan anak tidak hanya butuh nafkah, mereka butuh juga kasih sayang. Jika boleh saya beri saran, mungkin untuk bepergian yang jauh bisa diutamakan untuk yang lajang, atau mereka bisa membawa juga keluarga mereka untuk melakukan dakwah,” tutur Ustaz Anzai. ***
Tulisan ini bagian dari program Workshop dan Story Grant Pers Mahasiswa yang digelar Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) atas dukungan Friedrich-Naumann-Stiftung für die Freiheit (FNF) dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.