Teropongdaily, Medan-Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) adakan Kegiatan lokakarya yang diadakan di Hotel Radison Jl. Adam Malik. Senin, (15/05/2023).
Adapun tema yang diusung dalam kegiatan ini adalah ‘Peningkatan Kapasitas Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP) Baru Mengenai Demokrasi dan Kebebasan Berekspresi serta Berpendapat untuk Advokat dan Organisasi Masyarakat Sipil (OMS)’.
Rahmad Muhammad selaku pemateri sekaligus Direktur KontraS menyampaikan materinya dalam acara lokakarya KUHP ini.
“Ada problematika yang mungkin akan menjadi hal yang serius di Sumatera Utara (Sumut) karena ada beberapa isu yang kita anggap itu sangat potensial mengenai ke teman-teman pendamping nanti kedepannya, atau bahkan teman jurnalis dan teman-teman mahasiswa,” ujarnya.
Ia juga menyampaikan isu kebebasan berekspresi yang menjadi urgen dalam pembahasan ini.
“Jadi isu kebebasan berekspresi itu menjadi urgen untuk kita bahas. Pertama misalnya soal pasal 118 di dalam KUHP itu bunyinya, setiap orang yang menyebarluaskan, mengembangkan ajaran komunisme dan marxisme serta leninisme atau paham lain yang bertentangan dengan pancasila dimuka umum dengan lisan maupun tulisan termasuk menyebarkan atau mengembangkan melalui media apapun dapat di pidana dengan penjara paling lama empat tahun penjara,” sampainya.
Lanjutnya, Rahmad menyampaikan lagi bahwa berekspresi merupakan salah satu hak dasar setiap orang.
“Berekspresi ini merupakan salah satu hak dasar setiap orang, Jadi kita bukan lagi manusia seutuhnya karena posisi Hak Asasi Manusia ((HAM) kita yang dasar itu sudah cabut dengan pasal-pasal kebebasan berekspresi,” lanjutnya.
Pada pasal 218, pasal 219 dan pasal 220 mengatur tindak pidana penyerangan kehormatan, Rahmad mengemukakan tentang pasal ini.
“Di pasal 218, pasal 219 dan pasal 220, tentang mengatur tindak pidana penyerangan kehormatan harkat martabat Presiden dan Wakil Presiden. Bunyi pasal 218 mengatakan, setiap orang yang dimuka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat Presiden atau Wakil Presiden di pidana dengan pidana penjara tiga tahun atau denda paling banyak kategori empat,” ucapnya.
Rahmad Muhammad pun melanjutkan isi dari pasal 219.
“Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, menempel tulisan atau gambar, mendengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum atau menyebarluaskan, dengan sarana teknologi informasi yang berisi penyerangan kehormatan harkat martabat Presiden dan Wakil Presiden dengan maksud agar isinya diketahui oleh umum di pidana dengan penjara empat tahun penjara,” sambungnya.
Tr : Muthi’Nur Hanifah & Anjeli Wulandari (Magang)
Editor : Khofifah Aderti Mutiara