Teropongdaily, Medan-Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digagas pemerintah sejak awal 2025 menjadi salah satu kebijakan paling ambisius dalam sejarah pendidikan dan kesehatan masyarakat Indonesia. Tujuannya mulia: menjawab persoalan gizi, stunting, dan akses pangan bagi keluarga miskin. Dilansir dari Liputan6.com, program ini ditargetkan menjangkau 82,9 juta penerima manfaat, mulai dari pelajar SD hingga SMA, ibu hamil, balita, hingga kelompok rentan lainnya.
Namun, di balik tujuan mulia tersebut, program ini menghadapi ujian serius. Dikutip dari Detik.com, Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mencatat hingga pertengahan September 2025, terdapat 6.452 siswa yang menjadi korban keracunan makanan MBG . Sementara itu, Bisnis.com melaporkan di Kabupaten Garut, sebanyak 569 siswa dari lima sekolah mengalami mual dan muntah setelah mengonsumsi menu nasi dan ayam dari satu dapur penyedia MBG. Fakta ini menunjukkan lemahnya pengawasan dan standar keamanan pangan program tersebut.
Padahal, program ini sejatinya sangat dibutuhkan. Banyak anak Indonesia yang berangkat sekolah tanpa sarapan, sementara tingkat stunting yang masih menyentuh 21,5% menurut data Kemenkes 2024. Kehadiran MBG bisa membantu anak lebih fokus belajar, menekan angka gizi buruk, serta meringankan beban ekonomi keluarga kelas bawah. Karena itu, program ini tidak seharusnya dimatikan, melainkan diperbaiki.
Sayangnya, eksekusi program terlihat terburu-buru. Pemerintah terkesan lebih mengejar jumlah penerima ketimbang menyiapkan standar keamanan pangan yang matang. Minimnya pelatihan tenaga dapur, lemahnya kontrol logistik, dan kualitas bahan makanan yang tidak konsisten memperlihatkan bahwa program lebih mengutamakan kuantitas daripada kualitas. Padahal, urusan pangan bukan sekadar ākenyangā, melainkan menyangkut kesehatan dan keselamatan.
Insiden keracunan juga menimbulkan dampak psikologis. Orang tua mulai ragu mengizinkan anaknya memakan jatah MBG, siswa merasa takut, bahkan muncul stigma bahwa “makanan gratis” identik dengan “makanan berisiko”. Jika kepercayaan publik runtuh, sebesar apa pun anggaran yang digelontorkan tidak akan membuahkan hasil maksimal.
Pemerintah harus menegaskan bahwa MBG bukan sekadar proyek politik, tetapi investasi jangka panjang bangsa. Target besar harus dibarengi standar mutu yang ketat. Tidak cukup hanya membanggakan anggaran triliunan rupiah, tapi harus ada tolok ukur nyata seperti keamanan pangan, sertifikasi dapur, pengawasan berkala, dan transparansi laporan publik.
Ada beberapa langkah konkret yang bisa diambil: memastikan semua dapur MBG bersertifikat Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), melakukan audit rutin, melibatkan guru, orang tua, dan komunitas kesehatan sebagai pengawas lapangan, serta memanfaatkan teknologi digital untuk memantau distribusi makanan dan menerima laporan keluhan secara cepat. Dengan cara ini, risiko keracunan bisa ditekan dan kepercayaan masyarakat kembali terbangun.
Program MBG seharusnya menjadi tonggak sejarah keberpihakan negara kepada rakyat kecil. Namun, tanpa pengawasan yang ketat, ia bisa berubah menjadi bumerang politik dan kesehatan. Jalan terbaik adalah memperbaiki sistem, bukan menghentikan ide. Jika dijalankan dengan penuh tanggung jawab, MBG bisa menjadi warisan berharga bagi generasi emas 2045.
Tr: Adinda Haryanti
Sumber Foto: ugm.ac.id