Teropongdaily, Medan-Mekanisme media sosial saat ini bekerja layaknya mesin judi slot di kasino. Setiap kali jari melakukan scroll atau mengusap layar, pengguna sebenarnya sedang menarik “tuas” judi: mereka tidak tahu apakah konten berikutnya akan lucu, membosankan, atau mengejutkan. Ketidakpastian inilah yang memicu lonjakan dopamin di otak dan menciptakan rasa penasaran tanpa henti. Akibatnya, banyak orang terjebak berjam-jam di depan layar bukan karena pilihan sadar, melainkan karena otak mereka telah “disandera” oleh candu digital.
Paparan konten pendek berkecepatan tinggi perlahan mengubah cara kerja otak dalam memproses informasi. Studi dalam jurnal Computers in Human Behavior (2025) menunjukkan bahwa otak yang terbiasa dengan stimulasi instan akan menjadi “kebal” terhadap aktivitas yang berjalan lambat. Dampaknya nyata: kegiatan yang membutuhkan kesabaran dan pemikiran mendalam seperti membaca buku, menulis esai, atau berdiskusi serius menjadi terasa sangat menyiksa.
Otak seolah menolak bekerja keras karena terbiasa memperoleh kepuasan tanpa usaha. Dampak paling mengkhawatirkan adalah rusaknya rentang perhatian. Dr. Gloria Mark, profesor informatika dari University of California, Irvine, dalam bukunya Attention Span (2023), memaparkan data yang mengejutkan. Dua dekade lalu, durasi rata-rata perhatian seseorang pada satu layar sebelum beralih ke hal lain adalah 2,5 menit. Hari ini, angka tersebut merosot tajam menjadi hanya 47 detik.
Di Indonesia, fenomena serupa mulai terpotret dalam penelitian akademis. Di dunia pendidikan, mahasiswa semakin sulit mencapai fase deep work atau konsentrasi penuh. Penurunan fokus ini bukan sekadar masalah kemalasan, melainkan indikasi bahwa kemampuan berpikir kritis mulai terkikis karena manusia tidak lagi mampu menyimak informasi secara utuh dan mendalam.
Krisis ini muncul sebagai konsekuensi dari “ekonomi atensi”, yakni model bisnis yang mengukur keuntungan berdasarkan seberapa lama pengguna menatap layar. Untuk mempertahankan perhatian, algoritma sengaja membanjiri pengguna dengan konten emosional dan dangkal, sebab jenis konten seperti inilah yang paling mudah “mengikat” otak tanpa memerlukan proses berpikir yang serius.
Pada titik ini terjadi ketimpangan kekuatan: di satu sisi, manusia memiliki kontrol diri yang terbatas; di sisi lain, terdapat superkomputer yang sistematis memetakan kelemahan psikologis manusia demi keuntungan ekonomi.
Sebagian pihak menganggap fenomena ini hanya bentuk ketakutan berlebihan, seperti halnya kecemasan terhadap televisi atau komik pada masa lalu. Namun perbandingan ini tidak sepenuhnya tepat. Televisi bersifat pasif dan umum, sedangkan algoritma media sosial bersifat aktif, agresif, dan sangat personal. Media sosial belajar dari setiap detik perilaku penggunanya untuk menyajikan “umpan” yang paling sulit ditolak. Ini bukan lagi sekadar hiburan, melainkan sistem yang dirancang secara saintifik untuk mengeksploitasi waktu dan perhatian manusia secara massal.
Karena itu, kebijakan seperti pembatasan usia dalam PP Nomor 17 Tahun 2025 menjadi langkah perlindungan yang krusial. Namun, regulasi tidak akan cukup jika perusahaan teknologi tidak diwajibkan untuk transparan mengenai cara kerja algoritma mereka. Menyelamatkan kemampuan berpikir generasi mendatang bukan berarti anti-teknologi, melainkan memastikan bahwa teknologi tidak mereduksi manusia menjadi sekadar objek yang kehilangan daya analisis kritis akibat “pembusukan otak” digital.
Tr: Intan Nur’aini
Sumber Foto: Umsida.ac.id





















