Teropongdaily, Medan-Di Indonesia, banyak pekerjaan mensyaratkan gelar sarjana strata satu (S1) meskipun tidak selalu berkaitan langsung dengan keterampilan teknis. Dilansir dari Kompasiana, dunia kerja di Indonesia kerap menjadikan gelar sarjana sebagai syarat mutlak, walau tidak selalu mencerminkan keahlian riil calon pekerja. Hal ini memperparah ketidakadilan akses kerja. Akibatnya, lulusan sekolah menengah atas (SMA) atau diploma sering tersisih, meskipun memiliki kompetensi yang layak.
Sebaliknya, dunia politik justru lebih longgar. Syarat minimal pendidikan untuk menjadi calon legislator yaitu anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hanya SMA atau sederajat. Padahal, tanggung jawab legislator sangat besar karena keputusan mereka berdampak langsung pada kehidupan rakyat. Berdasarkan data DetikNews, anggota DPR periode 2019–2024 masih terdapat 9,7% yang berlatar belakang pendidikan SMA, sementara lulusan strata satu (S1), strata dua (S2), dan strata tiga (S3) tersebar di berbagai fraksi.
Perbedaan ini menimbulkan pertanyaan mendasar: mengapa seorang staf administrasi diwajibkan sarjana, sementara seorang legislator cukup lulusan SMA? Apakah ini bentuk toleransi politik terhadap keterbatasan pendidikan, atau justru pengabaian kualitas intelektual dalam kepemimpinan?
Dunia kerja tampak lebih menekan rakyat biasa, sedangkan dunia politik memberi kelonggaran bagi elite. Padahal, pemimpin seharusnya memiliki kualifikasi lebih tinggi. Kepemimpinan publik menuntut kemampuan berpikir kritis, memahami isu kompleks, serta menganalisis kebijakan secara matang.
Memang benar, pendidikan formal bukan satu-satunya ukuran kompetensi. Banyak politisi sukses berangkat dari pengalaman lapangan dan kecerdasan sosial. Namun, bekal pendidikan tetaplah penting. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023, tingkat partisipasi pendidikan menengah di perkotaan mencapai 85%, sedangkan di pedesaan hanya 65%. Kondisi ini menimbulkan kesenjangan kualitas sumber daya manusia (SDM) yang pada akhirnya berpengaruh pada kepemimpinan dan kebijakan publik.
Jika ketimpangan ini dibiarkan, publik bisa semakin kehilangan kepercayaan pada institusi politik. Rakyat dituntut meraih standar tinggi untuk pekerjaan biasa, tetapi menyaksikan syarat yang lebih rendah bagi wakilnya. Hal ini berpotensi menumbuhkan apatisme dan sinisme terhadap demokrasi.
Karena itu, Indonesia perlu merefleksikan ulang sistemnya. Standar pendidikan bagi calon pejabat publik sebaiknya dinaikkan, tanpa menutup ruang bagi mereka yang berprestasi melalui jalur nonformal. Dunia kerja pun harus lebih fleksibel dengan menilai keterampilan nyata, bukan semata-mata gelar.
Tujuan akhirnya adalah keseimbangan. Baik pekerja maupun politisi mesti diukur berdasarkan integritas, kapasitas, dan kontribusinya bagi masyarakat. Gelar tetap penting, tetapi tidak boleh menjadi satu-satunya ukuran. Dengan demikian, sistem sosial Indonesia bisa lebih adil, rasional, dan demokratis.
Tr: Diva Syaila
sumber Foto: medium.com