Teropongdaily, Medan-Kasus viral penolakan pembayaran tunai yang dialami seorang nenek menjadi sorotan publik dan memicu diskusi luas terkait hak konsumen serta kewajiban pelaku usaha dalam menerima uang Rupiah sebagai alat pembayaran yang sah.
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU), Irma Christiana, menilai bahwa penolakan pembayaran tunai terhadap konsumen, khususnya kelompok rentan seperti lansia, menunjukkan adanya ketimpangan dalam penerapan sistem pembayaran digital. Menurutnya, digitalisasi memang membawa kemudahan, namun tidak boleh mengabaikan hak konsumen yang dilindungi oleh hukum.
“Uang tunai memiliki status hukum yang kuat sebagai alat pembayaran yang sah. Oleh karena itu, penolakan secara sepihak oleh pelaku usaha berpotensi melanggar hukum dan merugikan konsumen,” ujarnya saat diwawancarai kru Teropong, Selasa (23/12/2025).
Ia merujuk pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang yang mewajibkan setiap pelaku usaha menerima pembayaran tunai dalam bentuk Rupiah. Dalam aturan tersebut ditegaskan bahwa pihak yang menolak menerima uang Rupiah dapat dikenakan sanksi pidana berupa denda hingga Rp200 juta dan hukuman kurungan maksimal satu tahun.
Kemudian, Irma menjelaskan bahwa kebijakan pembayaran non-tunai atau cashless tidak boleh diterapkan tanpa mempertimbangkan kondisi sosial masyarakat.
“Pelayanan yang baik seharusnya bersifat humanis dan berkeadilan. Menolak pembayaran tunai sama saja dengan bentuk diskriminasi terhadap konsumen tertentu,” tambahnya.
Kasus viral ini diharapkan menjadi pelajaran penting bagi pelaku usaha dan masyarakat luas bahwa kemajuan teknologi harus berjalan seiring dengan nilai kemanusiaan.
Tr: Divia Amanda & Winda Saidah





















