Site icon UKM-LPM Teropong UMSU

ORGANISASI MAHASISWA TATAP KAMPUS MERDEKA : ADAPTASI ATAU BERSERAH DIRI ?

Teropongdaily, Medan-Mahasiswa sebagai agen perubahan masa depan memang menawarkan pembahasan yang menarik dari setiap sisinya. Termasuk dalam kategori barisan intelektual, mahasiswa memiliki beragam cara menjalani kesehariannya agar menjadi mahasiswa yang produktif. Salah satunya adalah dengan cara berlembaga. Namun, bagaimana kondisi kehidupan berlembaga dalam roda kemahasiswaan saat ini?

Berlembaga dalam kemahasiswaan paling sering diartikan sebagai organisasi mahasiswa. Beragam jenis organisasi mahasiswa sering ditemui seperti Eksekutif Mahasiswa, Himpunan Mahasiswa hingga Pers Mahasiswa. Jika ditanya apa guna dari berorganisasi, pasti setiap orang dapat menjawab guna mengimplementasikan hasil pembelajaran dari bangku kuliah, atau menambah pengalaman selama berkuliah.

Tidak hanya itu, dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi, peran dan tanggungjawab mahasiswa adalah sebuah keharusan yang harus ditunaikan. Setidaknya 3 (tiga) hal yang harus ditunaikan yaitu Pendidikan, Penelitian dan Pengabdian kepada masyarakat. Ketiga hal tersebut juga seharusnya didapatkan pada saat berorganisasi di kalangan mahasiswa.

Hari ini mahasiswa harus menyetujui hal tersebut sebelum dirinya lebih jauh mendalami roda keorganisasian. Namun apakah saat ini semangat itu masih ada? Tampaknya sedikit demi sedikit semangat dan minat mahasiswa dalam berorganisasi sudah mulai tergerus. Sadar atau tidak, timbul penyusutan minat mahasiswa akan sebuah kehadiran organisasi dan lembaga.

Jika di perhatikan lebih dalam, hal-hal seperti yang disebutkan di atas hadir dari beberapa alasan. Jika dilihat secara eksplisit, tidak dapat dipungkiri kesibukan mahasiswa dalam proses akademiknya seperti tugas kuliah, jadwal praktik yang padat dan lain sebagainya menjadi salah satu aspek terdegraasinya animo berorganisasi mahasiswa.

Menurut penulis disini, meski sudah menjadi hal yang lumrah, hal seperti tersebut jika dibiarkan terus menerus alih-alih mahasiswa hebat akan prestasi akademik, malah akan menimbulkan sifat keapatisan dikalanggan mahasiswa. Bahkan bukan tidak mungkin salah satu dari poin Tri Dharma Perguruan Tinggi akan hilang didalamnya.

Lantas bagaimana kebijakan pemerintah menanggapi hal ini? dalam beberapa tahun kebelakangan ini, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (KemdikbudRistek) mengeluarkan sebuah program bernama “Kampus Merdeka”. Kampus Merdeka diciptakan guna membantu mahasiswa dalam mengasah kemampuan dan membiasakan diri dalam bertarung di lapangan yang sebenarnya. Berbagai program juga ditawarkan didalamnya.

Awal kemunculan program gagasan kepemimpinan Nadiem Makarim ini banyak menuai banyak pujian. Tidak hanya dari kalangan tokoh pemerintahan, program ini juga diapresiasi oleh Perguruan Tinggi yang ada di Indonesia. Bahkan banyak mahasiswa yang antusias dalam mengikuti berbagai program yang ada di Kampus Merdeka. Apa urgensi dari program ini? jika hanya untuk menjalankan Tri Dharma Perguruan Tinggi, bukankah sejak dahulu lembaga atau organisasi mahasiswa sudah lebih dahulu melaksanakannya? Jika untuk membantu mahasiswa mengimplementasikan apa yang dirinya pelajari di bangku kuliah, bukankah di organisasi mahasiswa sudah lebih dahulu melakukannya?

Kehadiran Kampus Merdeka juga seakan menggerus semangat mahasiswa dalam berlembaga. Bagaimana tidak, beragam program yang mengharuskan mahasiswa untuk melakukan pertukaran dan pengabdian di daerah yang jauh, bisa membuat sebuah organisasi amburadul kesehariannya. Bukankah mesin dari organisasi mahasiswa adalah mahasiswanya sendiri? Lantas bagaimana sebuah organisasi bisa berjalan dengan maksimal jika sumber daya manusianya disibukkan dengan program tersebut?.

Alih-alih ingin membuat mahasiswa hebat dari segi pengalaman. Pendapat pribadi penulis beranggapan bahwa secara tidak langsung program Kampus Merdeka perlahan akan memunculkan sifat keindividualisan mahasiswa tersebut. Sifat tersebut akan menjalar menjadi sifat apatis dan tidak lagi sempat untuk memikirkan pemikiran kritis. Hal ini yang seharusnya bisa menjadi perhatian pemerintah khususnya KemdikbudRistek dalam penyeimbangan program pemerintah dan menjaga animo berlembaga di kalangan mahasiswa.

Jauh dari hal itu, sebenarnya kelembagaan atau keorganisasian mahasiswa sudah melewati kisah panjang di negeri ini. Bahkan keorganisasian di kalangan mahasiswa sudah mencatatkan titik dalam jalan panjang kemerdekaan negeri ini. Gerakan Mahasiswa, dari Boedi Oetomo hingga kehebatan mahasiswa di masa reformasi adalah serentetan yang identik dari organisasi mahasiswa di negeri ini. Jadi sedikit lucu jika keorganisasian mahasiswa saat ini hanya dianggap sepele oleh berbagai pihak. Bukan hanya sebagai wadah menimba pengalaman, keorganisasian mahasiswa juga memiliki sejarah panjang yang diakui.

Terlepas dari itu, sebenarnya masih banyak cara agar animo berlembaga di kampus masih bisa eksis hingga saat ini. Ide dari penulis yaitu cukup baik jika pemerintah bisa memasukkan satu mata kuliah yang berbasis keaktivisan mahasiswa. Tidak perlu hingga memakan banyak Satuan Kredit Semester (SKS). Cukup 2 atau 3 SKS saja mungkin bisa sedikit menjadi langkah awal mahasiswa untuk kembali melirik keorganisasian di kalangan mahasiswa. Hal ini juga mungkin bisa berdampak jangka panjang. Untuk melangsungkan mata kuliah ini tentu tidak bisa sembarang memilih pengajar atau dosen didalamnya. Dosen yang mengampu mata kuliah tersebut mungkin juga diharuskan memiliki spesifikasi pernah mengeyam masa-masa organisasi mahasiswa saat berkuliahnya dulu.

Selain itu, perlu diketahui bahwa lembaga atau organisasi mahasiswa juga berdampak besar terhadap kesuksesan sebuah Perguruan Tinggi. Mungkin hampir setengahnya atau lebih, prestasi-prestasi yang didapatkan kampus adalah dari organisasi mahasiswanya. Pengenalan kampus kepada masyarakat juga kerap berawal dari kegiatan-kegiatan organisasi mahasiswa yang dilakukan di kalangan masyarakat. Terlebih citra sebuah kampus kerap juga didapatkan seiring aktifnya kegiatan organisasi mahasiswa, yang bakalan berdampak pada sebuah akreditasi Perguruan Tinggi. Kembali dan lagi, sudah semestinya pihak kampus juga peduli akan hal ini. Beragam cara juga seharusnya bisa dilakukan kampus untuk mempertahakan organisasi mahasiswa dikampusnya masing-masing.

Kolaborasi 3 (tiga) elemen Pemerintah, Kampus dan Mahasiswa haruslah diperkuat saat ini. Setidaknya ketiga elemen ini ada baiknya melakukan sebuah diskusi akan peradaban corong perubahan masa depan. Tidak bisa hanya memikirkan individualis, atau malah kepentingan pribadi. Kerjasama antar tiga elemen ini menurut penulis bagai sebuah mesin yang bergerak. Tidak bisa berjalan masing-masing, atau jika salah satu elemennya tidak berjalan dengan baik maka mesin tersebut pun tidak akan berfungsi maksimal.

Terakhir, penulis kembali memiliki sebuah gagasan yang sekiranya perlu disampaikan guna dipertimbangkan. Sama seperti beberapa opini yang pernah saya tulis, seharusnya, jika memungkinkan pemerintah dan pihak kampus bisa membuat sebuah kebijakan dalam syarat kelulusan mahasiswa. Atau setidak-tidak nya sebagai sebuah indikator didapatkannya nilai yang baik bagi mahasiswa. Apa itu? Mungkin bisa diberlakukan One Student, One Organization atau dalam arti lain mempriotiaskan setiap mahasiswa untuk bisa mengikuti satu organisasi yang ada dikampusnya. Menurut penulis hal ini akan menguntungkan berbagai elemen, mulai dari mahasiswa, organisasi mahasiswa, kampus dan akan berdampak pada dunia pendidikan di Indonesia.

Begitulah kondisi animo berlembaga di kalangan mahasiswa saat ini. Sudah seharusnya ada perbaikan sistem yang ada di dunia pendidikan tinggi, terutama yang berhubungan dengan kelembagaan mahasiswa agar tidak ada pihak yang dirugikan dan justru semua elemen di dalamnya mendapatkan keuntungan secara langsung atau pun tidak langsung. Kini sudah saatnya para aktivis organisasi mahasiswa harus memilih. Antara beradaptasi atau hanya diam berserah diri.

Tr : Mhd. Iqbal

Exit mobile version